SEBELUM perang Aceh dan Belanda berkecamuk, Belanda telah terlebih dahulu melewati beberapa perang. Di antaranya Perang Jawa, Perang Padri dan beberapa perang lainya.
Dari kesekian banyak perang yang sudah dihadapi Kolonial Belanda, perang Aceh merupakan perang yang berlarut dan melelahkan. Perang Aceh memakan waktu yang panjang, dibandingkan dengan perang lainnya. Perang Diponegoro atau lebih dikenal dengan Perang Jawa hanya memakan waktu lima tahun (1825-1830).
Perang Diponegoro sendiri merupakan perang yang bergantung pada pemimpin. Setelah Diponegoro tertangkap dan diasingkan ke Manado, maka berakhirlah Perang Jawa, tidak ada lagi yang melanjutkan perjuangan Diponegoro. Akhir dari perang ini pada tahun 1830 dan dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa.
Di mana pada masa ini pelaksanaan cultuurstelsel (sitem tanam paksa) dilaksanakan di bawah Gubernur Jenderal Van De Bosch.
Sistem tanam paksa dilaksanakan oleh Belanda semata-mata untuk menutup keuangan di negeri Belanda yang sedang memburuk yang diakibatkan oleh Perang Napoleon.
Perang Padri di Minangkabau yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol (1821-1838) juga perang yang tergantung pada pemimpin. Ketika Tuanku Imam Bonjol menyerah pada Belanda pada tahun 1838, genderang perang pun berakhir. Tuanku Imam Bonjol sendiri diasingkan ke Priangan, dilanjutkan ke Ambon dan akhirnya ke Manado yang kemudian di tempat itu ia wafat pada tahun 1838.
Perang Aceh merupakan perang yang tidak tergantung pada pimpinan, artinya jika Ibrahim Lamnga syahid di medan perang, maka akan lahir Ibrahim Lamnga lainnya yang akan melanjutkan perang. Jika ada salah satu pimpinan yang tertangkap, perang juga tidak akan padam.
Pada saat Teuku Umar gugur pada tahun 1899, Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang. Syahidnya para pimpinan sama sekali tidak menyurutkan semangat perang untuk melawan Belanda. Bahkan Perang Aceh pernah berada pada titik perang gerilya, kelompok dan perorangan dengan penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan kesultanan. Tidak tergantung pada satu pimpinan dalam mengobarkan semangat perang merupakan ciri khas Perang Aceh.
Traktat London
Sepanjang abad XIX, Inggris melebihi Belanda dalam kekuatan laut dan perdagangannya, khususnya di kawasan Malaka. Inggris sangat memberikan perhatian serius terhadap jalur Selat Malaka, jalur perdangan Cina-India. Keberadaan Inggris di wilayah tersebut diperlihatkan dengan pendirian Penang (1786) dan Singapura (1819). Kondisi ini mendorong pihak Belanda dan Inggris untuk membuat konsensus supaya terhindar konflik Belanda dan Inggris di Selat Malaka. Konsensus tersebut dituangkan dalam Perjanjian London pada bulan Maret 1824. Perjanjian tersebut menetapkan kepentingan Inggris dan Belanda. Dalam perjanjian tersebut diatur bahwa, ruang lingkup Inggris mencakup semenanjung Malaya dan ruang lingkup Belanda mencakup Sumatera. Malaka yang diduduki Belanda dan pos-pos Belanda di India diserahkan kepada Ingris dan kedaulatan Inggris atas Singapura diakui; Bengkulu di Sumatera diserahkan kepada Belanda. Isi lain dari perjanjian tersebut yang sangat menarik adalah Inggris dan Belanda menghormati kedaulatan Aceh. Traktat London masih memberikan ruang terhadap Aceh untuk berdaulat, meskipun dalam perumusan perjanjian tersebut Aceh tidak dilibatkan.
Ricklefs menuliskan dalam bukunya Aceh kala itu tumbuh sebagai kekuatan politik dan dagang yang kuat. Aceh menghasilkan lebih dari separuh pasokan lada dunia, banyaknya produksi lada ini merupakan sumber kekayaan mandiri bagi banyak penguasa pelabuhan-pelabuhan kecil yang di atas kertas merupakan vasal-vasal Aceh.
Kekuatan politik dagang yang dimiliki oleh Aceh salah satu yang mempengaruhi Inggris dan Belanda untuk menghormati kedaulatan Aceh. Perjanjian Traktat London menunjukkan bahwa, keduanya tidak saling merelakan Aceh jatuh ke salah satu dari mereka.
Traktat Sumtera dan Awal Prahara Perang Aceh
Aceh akan terlalu kuat dan kaya untuk dibiarkan oleh Belanda sebagai sebuah negara yang merdeka. Belanda memiliki rasa takut dan kekhawatiran tersendiri terhadap Aceh jika dikuasai oleh Bangsa Eropa lain. Kekhawatiran Belanda terhadap Aceh yang akan dikuasai oleh bangsa lain semakin kuat ketika desas-desus bahwa Aceh memberi kesan akan membiarkan itu.
Dikabarkan bahwa pada tahun 1852, seorang utusan Aceh telah diterima oleh Kaisar Prancis, Napoleon III (m. 1852-70). Diketahui juga bahwa, pada tahun 1869 Aceh telah meminta perlindungan kepada Turki. Berangkat dari itu Belanda mulai menyadari bahwa keberadaan Traktat London yang mengharuskan kedua belah pihak mengakui kedaulatan Aceh berdampak menyingkirkan Inggris dan Belanda dari Aceh. Kondisi ini mengakibatkan bahwa Aceh terbuka untuk dimasuki oleh kekuatan lain selain Inggris dan Belanda. Maka tidak mengherankan desakan-desakan untuk perluasan kekuasaan mulai muncul kembali di kalangan orang-orang Belanda.
Di sisi lain hasrat Belanda menguasai Aceh merupakan keinginan menguasai Sumatera secara sempurna. Pada tahun 1823 Belanda sudah mengekspansi Palembang di mana setelah melenyapkan keberadaan Najamuddin dan Badaruddin, Palembang ditempatkan langsung di bawah kekuasaan Belanda. Sementara Jambi telah lama menajalin hubungan dengan VOC, namun Belanda mulai melibatkan diri kembali ketika Sultan Muhammad Fakhruddin meminta bantuan Belanda untuk melawan bajak laut.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk memaksa sultan menandatangani perjanjian yang mengakui kedaulatan Belanda pada tahun 1834. Minangkabau juga sudah dikuasi Belanda pada tahun 1838 yang ditandai dengan berakhirnya Perang Padri. Pada tahun 1872 Perang Belanda dengan Batak yang berbatas langsung dengan Aceh berkobar, yang akhir perang dimenangkan oleh Belanda. Keadaan ini menjadi salah satu yang mendorong hasrat Belanda untuk menguasai Aceh yang terletak di ujung Sumatera yang merupakan satu lagi wilayah yang belum dikuasai.
Perubahan kebijakan Inggris terhadap Aceh berubah, iklim politik ini sangat menguntungkan Belanda dalam membujuk Inggris untuk mengeluarkan perjanjian baru. Kebijakan Inggris terhadap Aceh berubah dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah persaingan di antara kekuatan-kekauatan Eropa untuk mendapatkan wilayah jajahan meningkat. London nampaknya lebih cendrung memutuskan membiarkan Belanda menguasai Aceh, ketimbang Aceh dikuasai oleh negara lain yang lebih kuat seperti Perancis atau Amerika. Keputusan politik itu melahirkan perjanjian baru antara Belanda dan Inggris, yaitu Perjanjian Sumatera atau Traktat Sumatera pada bulan November 1871.
Dalam Traktat Sumatera Inggris dan Belanda menyepakati bahwa, Belanda menyerahkan Pantai Emas di Afrika kepada Inggris; Inggris memperbolehkan pengiriman kuli-kuli kontrak India ke Suriname, jajahan Belanda di Amerika Selatan. Belanda diberi kebebasan penuh di Sumatera atas persetujuan Inggris. Perjanjian ini merupakan pengumuman Belanda ingin menguasai Aceh. Perjanjian Sumatera sendiri dinilai sebagai perjanjian pertukaran yang terbesar selama zaman penjajahan. Bagi Inggris maupun Belanda, pertukaran ini berarti perang. Pada pertengahan tahun 1873, Inggris terlibat dalam Perang Ashanti di Afrika dan Belanda dalam Perang Aceh.
Pada 26 Maret 1873 Belanda memaklumatkan perang terhadap Aceh, ini merupakan pertanda dimulainya prahara berdarah di bumi Aceh. Memaklumkan perang terhadap Aceh pada akhir Maret 1873 tidak terlepas atas komunikasi-komunikasi antara Aceh dan Amerika.
Konsul Amerika di Singapura mengadakan pembicaraan dengan utusan Aceh mengenai terwujudnya perjanjian Aceh dan Amerika. Konsolidasi antara Aceh dan Amerika mendorong Belanda untuk menyegerakan menyerang Aceh. Pada akhir Maret, Belanda langsung menembakkan ibu kota Aceh (Kuta Raja).
Pada bulan April Belanda mendaratkan 30.000 orang pasukan, akan tetapi pasukan Belanda dipukul mundur oleh Aceh. Ricklefs dalam bukunya menyebutkan Belanda telah salah menilai Aceh, Belanda menilai Aceh tak ubah seperti wilayah lain yang telah ia taklukkan. Pendaratan pasukan ini mengejutkan Belanda bukan kepalang, delapan puluh orang serdadu belanda menjadi korban dalam waktu yang singkat. Dalam peristiwa tersebut yang membuat Belanda amat terkejut, mereka harus kehilangan jendralnya yaitu Johan Herman Rudolf Kholer. Ia merupakan perwira tinggi Belanda yang terbunuh di tangan orang Aceh, tepatnya pada 4 April 1873. Sang jendral Belanda tersebut kena peluru di bagian jantungnya pada saat melakukan inspeksi setelah menduduki kembali Masjid Raya Baiturrahman yang sebelumnya sempat dikuasai oleh pejuang Aceh. Perang sebelumnya yang pernah dilakukan Belanda tidak ada yang menewaskan jendralnya. Ricklefs dalam bukunya juga menyebutkan bahwa Belanda telah menghadapi lawan yang paling kaya, paling tegas, paling terorganisasikan, paling baik persenjataannya, dan paling kuat rasa kemerdekaannya. Seorang penulis Belanda HC Zentgraaff, mencatat dalam bukunya bahwa perang Aceh adalah salah satu perang terdahsyat. Biaya Perang Aceh yang tak kunjung selesai juga sangat besar, anggaran untuk angkatan darat dan angkatan laut selama sepuluh tahun sebesar 446 juta, yaitu sebanyak 15 kali anggaran untuk irigasi, 18 kalinya anggaran untuk kesehatan umum, dan 26 kalinya anggaran untuk pendidikan.
Ekspedisi Perang Aceh kemudian digantikan oleh jenderal van Swieten, ekspedisi ini merupakan ekspedisi terbesar yang pernah mereka himpun di Indonesia. Dalam ekspedisi di bawah van Swieten, Belanda menurunkan delapan ribu lima ratus serdadu, empat ribu tiga ratus pelayan dan kuli, dan pasukan cadangan seribu lima ratus orang serdadu. Dalam rentang waktu antara November 1873 dengan April 1874 tercatat seribu empat ratus orang pasukan Belanda tewas di Aceh, lebih kurang dalam setiap hari ada delapan orang serdadu Belanda yang meregang nyawa di Aceh. Kesultanan Aceh kala itu tetap berdiri, meskipun kuta raja sudah tidak berfungsi sebagai pusat ibu kota kerajaan. Ibu kota Aceh sempat berpindah-pindah agar keberadaan kesultanan tetap ada, bahkan Keumala pernah menjadi ibu kota. Begitu juga dengan raja, ketika sultan Mahmud wafat karena kolera, Tuanku Muhammad Daud Syah langsung diproklamirkan sebagai sultan oleh orang-orang Aceh.
Perang Aceh sampai pada tahapan perang gerilya, dan perang gerilya ini sendiri perang yang didominasi oleh kaum ulama. Salah satu ulama yang terkenal adalah Tgk Chik di Tiro, pandangan perang dalam perang gerilya ini pun menjadi perang sabil kaum muslim melawan kafir. Selain memakan korban nyawa yang banyak, Perang Aceh juga telah menyedot keungan Belanda yang cukup besar. Ricklefs dalam bukunya juga menggambarkan Belanda harus melakukan penghematan anggaran di bidang lain dan menaikkan pajak untuk memenuhi biaya Perang Aceh. Kondisi perang yang kian berlarut, akhirnya belanda mengirim seorang guru besar dari Universitas Leiden, yaitu Dr Christiaan Snouck Hurgronje, yang berfungsi sebagai penasehat kolonial. Snouck Hurgronje adalah ahli Islam Belanda yang terkemuka. Snouck menemukan bahwa yang menjadi kekuatan Aceh adalah ulama, sehingga ia mengeluarkan pernyataan bahwa tidak satu pun yang dapat diperbuat untuk meredakan perlawanan yang fanatik dari kaum ulama, kecuali mereka harus ditumpas sampai habis.
Salah satu upaya belanda dalam penumpasan Perang Aceh adalah membentuk satu kesatuan pasukan elit, yaitu Korps Mareschausse. Kapan perang Aceh berakhir memang ada banyak pendapat, pastinya Perang Aceh amat berlarut. Perang Aceh cukup menjadi pelajaran penting bagi Belanda, yang seolah-olah mereka tidak mau mengulangi mimpi buruk itu. Itu terbukti ketika Belanda ingin menguasai Indonesia kembali setelah Perang Dunia ke II, Aceh adalah satu-satunya wilayah yang tidak mereka coba masuki kembali.
Kini, usia Perang Aceh sudah hampir 1,5 abad, hendaknya peristiwa ini harus terus di rawat dalam ingatan orang Aceh. Salah satu cara merawatnya dengan menulis sejarah itu sendiri, menulis akan sangat membantu kita dalam melihat apa yang terjadi di Aceh pada masa silam. Jangan sampai peristiwa heroik ini menjadi dongeng karena sedikit yang menulis tentang Sejarah Aceh. Acap sekali kita mendengar bahwa kalau di Aceh sejarah menjadi dongeng, namun sebaliknya di luar Aceh, dongeng menjadi sejarah.
Penulis adalah Mujiburrahman. Alumni FKIP Unsyiah dan Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Saat ini sedang melanjutkan pendidikan S3.