PRIA paruh baya itu berkali-kali menggaruk kulit kepala tak gatal miliknya. Rokok di tangan kanannya tinggal setengah. Sementara tujuh gelas ukuran kecil terlihat kosong di atas meja. Ada ampas kopi di dasarnya.
Ia tak sendiri. Ada dua lelaki lainnya di sisi kiri dan depan. Mereka berangkat dari Lhok Krueng Raya, pesisir Kabupaten Aceh Besar, dengan menggunakan satu unit becak motor tua, sekitar dua jam lalu, menuju Warung Kopi Dekmi Rukoh, Darussalam, Kota Banda Aceh.
Lelaki paruh baya tadi bernama Imran. Ia Panglima Laot Lhok Krueng Raya. Di sini kirinya adalah Burhanuddin, atau akrab disapa Pawang Burhan. Burhan mantan kombatan GAM yang memilih jadi nelayan usai Aceh damai. Sementara di depan dua pria ini, ada Pawang Amri. Ketiganya warga Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Ketiganya mencoba menyampaikan keluh kesah kepada Teuku Muttaqien, dosen Unsyiah yang selama ini focus mengadvokasi nasib nelayan Aceh serta hukum adat laot yang menjadi kearifan lokal di ujung barat pulau Sumatera.
Ada juga aktivis Jaringan Kuala, Rami, di sana. Pembahasan kian hangat saat hujan deras mengguyur Darussalam kala itu.
“Saat ini mencari ikan kian sulit,” kata Imran sambil menghembus asap rokok ke udara.
“Dulu, kalau kita melaut dan membawakan 10 raga (tempat penampungan ikan dalam bahasa Aceh-red), bisa penuh atau minimal terisi 7 hingga 8. Sekarang 3 raga saja susah,” kata Imran.
Pawang Burhan dan Amri menggangguk tanda setuju. Sementara yang lain, hanya menatap Imran dengan seksama.
Kondisi ini, kata Imran, terjadi usai tsunami. Diduga, salah satu penyebabnya adalah kebijakan Pertamina di kawasan Lhok Krueng Raya yang membangun pipa dalam laut. Pipa ini digunakan oleh kapal tanker untuk mengirim minyak dari tengah laut ke tempat penampung dalam komplek Pertamina yang berada di Krueng Raya.
“Sebelum tsunami, pipanya dapat dilihat. Jadi kalau ada bocor, langsung terlihat dan suplainya bisa langsung dihentikan sementara. Kini karena pipanya di dalam laut, saat bocor tak diketahui. Baru saat minyak tumpah banyak hingga dua ton lebih dan muncul ke permukaan, dan ketahuan serta suplai dihentikan,” curhat Imran.
Imran sendiri mengaku menjabat Panglima Laot Lhok Krueng Raya sejak lebih kurang 2015 lalu.
“Tiga tahun lebih saya menjabat, ada sekitar 40-an kali suplai minyak yang diketahui tumpah ke laut. Ini karena pipanya diketahui bocor. Itu yang kami ketahui,” kata Imran.
Kata Pawang Amri, tumpahnya minyak tadi mempengaruhi keberadaan ikan di Lhok Krueng Raya.
“Ikan mulai jarang. Hasil tangkapan nelayan menurun drastic. Mungkin (ikan) menjauh. Tidak ada ikan, apa yang mau ditangkap,” kata Pawang Amri.
Penurunan populasi ikan, sambung Imran, membuat kesejahteraan nelayan di Lhok Krueng Raya kian sulit diraih. Kondisi sudah berulangkali disampaikan pada pejabat Pertamina setempat, namun realisasi masih jauh dari harapan.
“Itu (Pertamina-red) punya negara. Kami hanya nelayan. CSR yang dikhususkan untuk nelayan tidak ada. Kalau untuk desa sekitar, saya kurang tahu,” jelas Imran.
Imran berharap aspirasinya bisa di dengar. Karena nelayan juga butuh kehidupan.
“Saya anak ada 3 orang. Kalau tak melaut, anak Istri mau makan apa,” sambung Pawang Burhan datar. Suasana kemudian senyap. Imran memandang butiran air hujan yang mulai terlihat reda. Sesekali, wajahnya juga mengarah ke tempat becak motor tua miliknya diparkir.
“Kita pulang,” ujar dia kemudian. Pawang Amri dan Burhan kembali mengangguk tanda setuju.
Sekitar pukul 17.24 WIB, ketiganya izin pamit kembali ke Lhok Krueng Raya. Mereka meninggalkan asa untuk pemimpin negeri ini. []