PENANGKAPAN dan penetapan Dandhy Dwi Laksono sebagai tersangka jadi trending tropic di media social. Pendiri WatchDoc ini dikenal dengan kritikannya yang tajam terkait kebijakan pemerintah yang mengedepankan pendekatan militer dalam menangani konflik di tanah air.
Ini bukan kasus hukum pertama yang dihadapinya, Dandhy pernah dipolisikan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur, organisasi sayap PDI Perjuangan karena dianggap menghina Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada 2017 lalu.
Kader PDI Perjuangan itu keberatan dengan tulisan Dandhy yang berbunyi,”Tepat setelah Megawati kembali berkuasa lewat kemenangan PDIP dan terpilihnya Presiden Joko Widodo yang disebutnya ”petugas partai” (sebagaimana Suu Kyi menegaskan kekuasaannya), jumlah penangkapan warga di Papua tembus 1.083 orang, mengalahkan statistik tertinggi di era Presiden SBY (2013) yang berjumlah 548 orang.”
Sedangkan bagi para jurnalis di Aceh, Dandhy bukanlah sosok yang asing. Aceh menjadi rumah kedua bagi pria yang bertubuh subur itu. Dandhy sering menjadi pemateri dan guru jurnalistik investigasi bagi jurnalis pemula.
Para jurnalis semasa Aceh masih berkonflik, juga memiliki memori tersendiri soal Dandhy. Salah satunya adalah Yuswardi A. Suud, wartawan senior yang juga pendiri The Atjeh Post. Ia turut memposting dukungan pasca Dandhy dijerat polisi dengan UU ITE.
“Bersama Dandhy Dwi Laksono masuk ke pelosok Tiro menjelang pemilu 2004, saat Aceh masih berstatus Darurat Militer. Saat militer membatasi liputan media ke pelosok-pelosok, Dandhy tetap tak mau tunduk. Dia punya cara sendiri menjinakkan situasi lapangan. Jika dalam perjalanan kami berpapasan dgn tentara pemerintah, Dandhy yg orang Jawa maju ke depan melakukan pendekatan. Jika bertemu gerilyawan GAM, saya yang orang Aceh yang harus bicara.
Hari itu, saat masuk ke pedalaman Tiro, kami disemprot tentara pemerintah krn tak melapor ke instansi mereka sebelum masuk ke sana. Kami dibawa ke markas koramil. Usai menumpahkan kekesalannya berikut ancaman2, sang komandan meminta kami keluar dan melapor ke Kodim Pidie.
Di depannya, kami iyakan permintaan itu. Keluar dari Tiro, bukannya ke Kodim seperti permintaan si komandan, kami malah masuk ke pedalaman Teupin Raya. Di sana, Dandhy meradang ketika menemukan sekelompok tentara sedang memasang meriam Howitzer untuk ditembakkan ke hutan yg diduga ada orang GAM di dalamnya.
Begitulah Dandhy. Saat banyak wartawan lain memilih aman dengan mengutip berita dari media centre resmi Penguasa Darurat Militer, ia memilih turun ke lapangan, mempertaruhkan keselamatannya sendiri. Dan, begitulah caranya menjaga negeri.
Maka ketika semalam dia ditangkap polisi karena menulis tentang Papua dan rajin mengkritik polisi belakangan ini, kita justru bertanya: tidak bolehkah kami menjaga negeri dgn mengabarkan kebenaran?
Bebaskan Dandhy!
Note: Dua wartawan lain yg bersama kami adalah senior Aboeprijadi Santoso dan Binsar Bakkara.”
Yuswardi turut memposting foto dirinya bersama Dandhy semasa Aceh masih berkonflik.
Selain Yuswardi, dukungan serupa juga datang dari Davi Abdullah, jurnalis senior lainnya dari Aceh.
“Save Dandhy-Kita akan bergerak dari Aceh. Tetap dilimpahkan semangat kritis utk setiap langkahmu mas Dandhy Dwi Laksono,” tulis Davi di akun Facebook miliknya. Ia juga turut memposting foto dirinya saat duduk dengan Dandhy.
Cerita tentang Dandhy juga tak luput dari Farid Gaban, jurnalis senior Indonesia.
“Kamu emang usil sejak dulu. Ngapain juga kamu dulu membela orang Aceh di masa darurat militer. Dasar Jawa murtad!
Kenapa nggak kamu tiru banyak orang Jawa lain yang mendukung Pemerintahan Megawati menumpas separatis Aceh dengan dalih “NKRI harga mati”. Eh, kamu malah jadi pemimpin redaksi Majalah “Aceh Kita”, menyediakan diri jadi bemper wartawan-wartawan Aceh yang namanya harus disembunyikan hanya untuk menyampaikan fakta,” tulis Farid Gaban sebagaimana dikutip di geotimes.co.id.
Dandhy sendiri diperbolehkan pulang usai menjalani pemeriksaan polisi, dengan status tersangka, Jumat dini hari tadi. []