CUT Nyak Dhien bersolek manis. Ada pernak pernik hiasan yang mengelilingnya. Ia anggun laksana putri keraton di tanah Jawa.
Sedangkan Teungku Umar penuh kegagahan. Ia dipuja dengan Johan Pahlawan. Padahal itu gelar pemberian Belanda.
Tinggal Ibrahim yang kini merana. Ampas kopi, sampah dan air comberan disiram ke wajahnya.
Sejatinya Cut Nyak Dhien adalah Istri Ibrahim. Ia sudah menjadi panglima perang saat Dhien masih belajar memasak dan jadi wanita.
Ibrahim Lamnga lahir di Desa Lamnga Pasi, Kecamatan Masjid Raya, sekitar tahun 1838 M. Sedangkan Cut Nyak Dhien menyusul ke dunia pada 1848 Masehi di Lampadang, atau 10 tahun setelah kelahiran Ibrahim.
Umar sendiri kelahiran 1854 Masehi. Ia lebih muda 6 tahun dari Dhien yang merupakan sepupunya, dan terpaut 16 tahun dari Ibrahim Lamnga. Saat Ibrahim memimpin pasukan, Umar masih berkutat dengan debu.
Ibrahim dan Cut Nyak Dhien menikah pada 1862. Dari Ibrahim, Dhien belajar soal seni pedang, kepemimpinan serta taktik perperangan.
Ibrahim berada di barisan terdepan saat perang Aceh meletus pada tahun 1873. Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan. Sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873. J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada 24 Desember 1875. Suaminya, Ibrahim Lamnga, selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada 29 Juni 1878. Jasadnya kemudian dilarikan ke Lamnga Montasik serta dikuburkan bersama prajurit lainnya di sana. Mereka dikuburkan secara sederhana.
Kematian Ibrahim membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Ia mewarisi tekad Ibrahim. Ibrahim adalah guru dan cinta pertamanya. Dhien bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang mampu melanjutnya perjuangan suaminya.
Berita ini sampai ke telinga Umar di Meulaboh. Ia sudah lama terpikat dengan sepupunya di Lampadang itu. Padahal, saat itu, Umar sudah beristri dua. Berbagai cara dilakukan untuk merebut perhatian Dhien, cinta sejatinya. Hingga akhirnya, pernikahan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pun berlangsung pada 1880 atau 2 tahun setelah Ibrahim meninggal.
Namun pernikahan kedua Dhien tak berjalan mulus, Umar justru berulang kali membelot ke Belanda.
Umar berperang dengan para pejuang Aceh, menyerang Kuta Tungkop dan tempat pertahanan daerah XXVI Mukim, yang kemudian menyerang daerah pertahanan Teungku Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh, salah satu unit pejuang Aceh yang terdiri dari pasukan perempuan. Di tangan Umar, semasa bergabung dengan Belanda, banyak pejuang Aceh menuai ajal.
Namun, kelemahan Umar adalah Dhien. Dhien juga sadar hal itu. Maka Dhien pun mengultimatum Umar.
“Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar bahwa Teungku Fakinah telah siap sedia menanti kedatangan Teuku Umar di Lamdiran (Markas Sukey Fakinah). Sekarang, barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi, pria melawan wanita yang belum pernah terjadi pada masa nenek moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita. Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah dahulu kuperingatkan: jangan- lah menyusu pada badak,” kata Cut Nyak Dhien dalam bahasa Aceh.
Singkat cerita, Umar pun kembali membelot ke pejuang Aceh. Ia meninggal tahun 1899 , serta dimakamkan di Masjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh.
Dhien sendiri melanjutkan perjuangan hingga hari tua. Ia ditangkap serta dibawa ke Sumedang, Jawa Barat, bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Kini setelah ratusan tahun, makam Dhien terawat dengan rapi di Sumedang. Ada nisan terukir rapi serta bangunan kayu yang kokoh dan megah. Ia tak ditinggal sendiri dan malah dijaga dengan baik oleh warga di Jawa sana.
Umar juga sama. Ia memiliki komplek makam yang gagah serta dilestarikan. Ada bangunan serta keramik di sana. Lengkap dengan pernak pernik lampu serta kebutuhan pengunjung di sana. Keturunannya sadar akan perjuangan Umar serta memberi tempat peristirahatan yang layak.
Sedangkan nasib naas masih dialami Ibrahim. Ia memang berasal dari keluarga Teuku. Namun hartanya dipertaruhkan untuk melawan Belanda. Semasa hidup, ia masuk hutan demi bergerilya melawan Belanda. Dan ketika meninggal pun, makamnya masih diabaikan oleh anak cucunya.
Makam Ibrahim luput dari perhatian Mawardi Ali, bupati setempat. Padahal keduanya lahir dari desa yang tak berjauhan di pesisir Aceh Besar. Mungkin ia tak tahu sejarah serta tak mengenal leluhurnya itu.
Makam Ibrahim hanya gundukan tanah tak terawat di belakang keudee kopi di Lamnga Montasik. Di sana, sampah dibuang. Ada ampas kopi serta taik kambing.
Sejumlah turis lokal dari Sumedang pernah berziarah ke sana pada pertengahan tahun 2019. Mereka terkejut saat Ibrahim masih diperlakukan tak wajar.
“Di Sumedang, makam Cut Nyak Dhien kami rawat dengan baik. Kami tahu juga soal Ibrahim. Tapi tak menyangka ia justru terabaikan seperti ini. Ia pahlawan besar dan awal dari cerita Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar,” kata Suharwo, penziarah asal Sumedang, Jawa Barat.
“Bupati kami menjaga lelehur kalian dengan baik. Tapi bupati kalian justru tak peduli dengan leluhurnya,” ujar Suharwo lagi. Ia menitik air mata melihat Ibrahim.
Sejumlah artis ibukota juga pernah berziarah ke makam Ibrahim. Salah satunya adalah Sha Ine Febriyanti. Ia sering menggelar monolog dan berperan sebagai Cut Nyak Dhien. Ine seperti tak percaya saat melihat makam Ibrahim.
Dari Jakarta, Ine terbang ke Aceh untuk bertemu dengan Ibrahim. Namun dadanya sesak saat melihat kondisi makam panglima besar Aceh itu.
“Melangkah ragu ke pekarangan belakang kedai yang dikelilingi rerumputan yang tumbuh tak beraturan. Ada kandang kambing di sisi kiri pekarangan, di sebelahnya tempat pembuangan sampah dan sebuah bangunan tak terawat menyambut kedatangan kami,” tulis Ine dalam website pribadinya obendon.com.
Mungkin jika Ibrahim hidup, ia akan menampar Mawardi berulangkali. []