BANDA ACEH– Menindaklanjut hasil pertemuan antara Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Malik Mahmud Al Haytar dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)—sekarang mantan Wapres– 8 Oktober lalu di Jakarta, Forum komunikasi pimpinan daerah (Forkopimda) Aceh melakukan pertemuan khusus atas inisiatif Wali Nanggroe di Meuligoe Wali Nanggroe pada Jumat 18 Oktober 2019.
“Tujuan saya mengundang adalah untuk sharing perkara-perkara yang belum dapat diselesaikan menurut MoU Helsinki. Harapannya yang belum diselesaikan dapat kita diselesaikan bersama,” kata Wali Nanggroe dalam forum tersebut.
Hadir pada rapat terbatas tersebut antaralain, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah, Wakil Ketua DPRA Sementara Dalimi, Pangdam Iskandar Muda (IM) yang diwakili Kasdam IM Brigjen TNI A. Daniel Chardin, Kapolda Aceh diwakili Wakapolda Brigjen Pol. Yanto Tarah, dan Kajati Aceh Mohammad Farid Rumdana, S.H., M.H.
Sesuai hasil pertemuan dengan JK, point-point yang dibicarakan dalam rapat Forkopimda tersebut antaralain, mengenai tapal batas Aceh, pengelolaan pelabuhan laut dan bandar udara, akses perdagangan dan bisnis Internasional serta investasi yang terkendala perundang-undangan nasional, kewenangan Aceh dalam mengelola migas yang terkendala peraturan perundangan sektoral, pengalihan Kanwil BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/kota menjadi Badan Pertanahan Aceh, serta persoalan bendera dan Lambang Aceh.
Kemudian persoalan penyerahan kewenangan kepada Pemerintah Aceh yang tidak diikuti penganggaran seperti; kewenangan pertanahan, kewenangan migas, termasuk membentuk kewenangan lembaga-lembaga khusus dan istimewa, permasalahan reintergrasi kombatan GAM kedalam masyarakat yang belum tuntas, dan permasalahan narkotika di Aceh sudah sangat krisis, serta persoalan-persoalan kekhususan Aceh sebagaimana hasil perundingan MoU Helsinki yang belum dipenuhi oleh Pemerintah Pusat hingga saat ini.
Pada rapat tersebut, Wali Nanggroe mengusulkan beberapa tindak lajut yang kemudian disepakati oleh Forum Forkopimda. “Pemerintah Aceh melakukan usulan ke Pemerintah Pusat untuk dibentuk Tim Adhock atau Badan Adhock terdiri dari Pemerintah Aceh, Pemerintah Pusat dan stakeholder penandatangganan MoU Helsinki,” kata Wali Nanggroe.
Tim ini akan melakukan FGD tiga bulan sekali mengevaluasi hal-hal menyangkut permasalahan implementasi MoU Helsinki dan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang belum selesai, dan membuat rencana kerja target penyelesaiannya.
“Pak JK tetap dilibatkan untuk konsultasi dan penyelesaian masalah Aceh, menyangkut hal-hal yang belum selesai yang akan diteruskan ke Pemerintah Pusat,” kata Wali Nanggroe.
Selain itu, Pemerintah Aceh juga akan membetuk tim kajian dalam penyelesaian permasalahan regulasi yang terkendala dengan peraturan sektoral dan persoalan pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Aceh yang diikuti dengan penganggaran.
Mengenai tapal batas, forum menyepakati agar Pemerintah Aceh menindaklanjuti dengan membentuk tim koordinasi penyelesaian percepatan tapal batas yang akan berkoordinasi dengan BIG dan Pemerintah.
“Forum juga sepakat, Aceh akan segera mengejar ketinggalan-ketinggalan dalam ekonomi dan terus mendorong pelaku aktivitas ekonomi di Aceh dalam produktivitasnnya, dan memberi rasa aman serta kepastian hukum kepada Investor dan masyarakat.”[]