PRIA itu memandang jauh ke depan. Di depannya ada hamparan tanah kosong yang berbatasan dengan tambak milik warga. Suasana sepi. Hujan deras baru saja mengguyur saat kami datang ke lokasi.
Pohon-pohon mangrove yang baru ditanam ulang pasca tsunami serta ribuan kepiting kecil yang menyemut di sana. Orang-orang di sini menyebutnya dengan istilah Bieng Sira atau kepiting kecil yang biasanya hidup di hamparan lancang sira.
“Dulu ada puluhan Lancang milik warga di sana. Kini sudah hilang. Tidak ada lagi yang menggarap lancang,” ujar pria tadi.
Ia adalah Rusli, seorang tetua di mukim Lamnga. Sedangkan lokasi yang kami datangi adalah bekas area lancang sira di Desa Lamnga, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Sira Lamnga memiliki nama besar di industri garam sejak abad 17. Sira Lamnga tenar hingga ke Sumatera Utara.
“Dulu, asal sudah mendengar nama Sira Lamnga, orang pasti membelinya. Ini karena Sira Lamnga memang memiliki kualitas yang terbaik,” ujarnya lagi.
Konon, Sira Lamnga sendiri memiliki jalinan erat dengan keberadaan para Uleebalang dari Mukim 13 Sagi 26. Berlancang menjadi profesi yang paling banyak digeluti oleh warga di mukim Lamnga saat itu.
Bahkan Ibrahim Lamnga, suami pertama Cut Nyak Dhien, sering membawa oleh-oleh Sira Lamnga kepada mertuanya yang tinggal di Lampadang, di awal-awal meminang gadis cantik itu, pada tahun 1862 Masehi.
“Sira Lamnga tinggal kenangan. Lancangnya sudah hilang. Petani sira sendiri tidak ada lagi di Lamnga,” kata Rusli.
“Sira Lamnga itu beda dengan sira daerah lain. Sira daerah lain pret ujong. Sira Lamnga justru manis di lidah,” ujarnya lagi.
Mantan geuchik Lamnga, M. Ali Ibrahim, mengisahkan bahwa banyak lancang dan petani garam yang menjadi korban saat tsunami menerjang daerah itu pada akhir 2004 lalu.
“Ada beberapa petani garam yang bertahan usai tsunami. Mereka kembali menggarap lancangnya, tapi seusai mereka meninggal, tak ada lagi penerus. Akhirnya lancang terbengkalai dan tak terurus,” ujar M. Ali.
Merek Sira Lamnga yang kini beredar di pasaran adalah milik petani garam yang mengolah lancang di sekitar kemukiman Lamnga.
“Itupun sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari. Soalnya mereka kalah saing dengan industri garam yang mengolah secara modern,” ujarnya.
Kata M. Ali, banyak warga dari luar daerah datang ke Lamnga untuk membeli sira Lamnga, tapi kemudian terkejut saat mengetahui kondisi yang terjadi. Sira Lamnga kini tinggal kenangan. []