Bupati Aceh Jaya dilaporkan ke Polda Aceh terkait dugaan perilaku amoral pada Juli lalu. Video dan foto sang bupati beredar luas di tengah-tengah masyarakat. Namun ia belum tersentuh.
Sebahagian pendukung mengatakan itu hoak. Mungkin karena ukuran kebenaran, menurut mereka, adalah apa saja yang menguntungkan. Sedangkan hoak adalah apapun pemberitaan atau informasi yang menyudutkan pribadi, keluarga atau kolega bisnis.
Sebahagian lagi masyarakat terkesan tutup mata. Mungkin ‘ketergantungan’ proyek membuat mereka bersikap apatis.
Kasus yang sama juga terjadi di Simeulue. Video ciuman bupati Simeulue dengan wanita bukan istrinya menyebar luas di media social dan handphone warga di Aceh. Namun kasus tersebut juga tak ada tindaklanjut.
Sebahagian mengatakan itu hanya ciuman. Penekanan kata ‘hanya’ adalah bentuk toleran terhadap kesalahan.
Dua kasus ini membuktikan penegakan syariat Islam di Aceh tumpul ke atas. Kemudian, tentu saja, tajam ke bawah. Dimana, hukum masih tebang pilih. Tapi jika kalimat ini diucapkan oleh mereka di luar Aceh, kita akan ramai-ramai menghardiknya serta membully mereka berhari-hari di media social.
Uniknya, baik bupati Aceh Jaya maupun bupati Simeulue, kini sama-sama masih rajin ke mushala-mushala serta majelis taklim untuk berkhotbah soal agama. Tak ada beban moral sedikitpun bahwa mereka telah melakukan prilaku amoral.
Wajah mereka seolah bertopeng buaya. Keras dan tak mudah terluka.
Yang mengundang pun seakan lupa bahwa mereka juga menjadi bagian dari orang-orang yang menolerir kesalahan serta menjual hukum agama hanya demi kepentingan kelompok. Imbasnya, syariat hanya ungkapan semata.
Aneh rasanya jika kita mendengar seruan pelaksanaan syariat Islam dari orang-orang yang berprilaku amoral. Sama halnya dengan meminta pencuri untuk berpidato di depan anak-anak agar tak mengambil uang orang tua mereka tanpa meminta.
Tapi kondisi inilah yang sedang terjadi di Aceh. Khususnya Aceh Jaya dan Simeulue.
Seharusnya, kita belajar ke Jepang. Bukan pada syariat Islamnya, tapi prilaku moral yang mereka junjung tinggi.
Setiap mereka melakukan kesalahan, mereka akan meminta maaf secara terbuka dan mundur dari jabatan publik. Ketika kesalahan tersebut membuat aib bagi keluarga, mereka tak segan-segan melakukan harakiri untuk mengakhiri hidupnya.
Itu warisan moral dari Jepang. Sebuah Negara yang tak beragama tetapi mendepankan moralitas sebagai warisan anak cucu.
Kondisi yang sama juga terjadi di Swedia. Negara itu tercatat sebagai negara yang tingkat kebahagian warganya nomor satu di dunia. Kunci kebahagian penduduk di sana adalah warisan moral serta kejujuran.
Aceh adalah bagian terkecil dari Indonesia. Kita beragama dan menerapkan hukum syariat Islam. Namun hukum kita masih toleril terhadap kesalahan-kesalahan dan prilaku amoral penguasa. Kesalahan tersebut kita anggap biasa. Malah mereka tetap diberi panggung untuk berpidato tentang moralitas pula.
Di undang ke masjid dan kemudian diminta untuk menyampaikan nasehat agar tak berpacaran bagi generasi muda. Lengkap dengan hadist dan ayatnya. Sementara di sisi lain, mereka berciuman dengan non muhrim atau video call dengan lawan jenis tanpa busana. Lucu memang tapi inilah yang sedang terjadi di Aceh.
Ini mungkin bukan kasus kedua dan terakhir untuk Aceh. Prilaku amoral pejabat akan terus terjadi selama Aceh masih toleril terhadap kesalahan kesalahan yang sama. Pelanggar syariat pun akan terus bertambah. Karena pelaksanaan syariat hanya berdasarkan ketakutan jika ditangkap WH. Tapi lain ceritanya jika tak ada manusia yang melihat serta mempersoalkannya.
Kesadaran bersyariat berdasarkan hati dan ketaqwaan kepada Allah Swt menjadi hal yang masih sulit untuk dicari. []