Jakarta – Pelaksana tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, mengatakan kementeriannya mendorong pelaksanaan pilkada untuk dikaji melalui riset.
“Kami di Kemendagri terutama Pak Menteri betul-betul mengingat pilkada ini dilakukan by riset. Sejauh mana keefektifannya selama ini, tentu risetnya dilakukan dengan metodologi yang empiris dan melibatkan peneliti-peneliti yang berintegritas,” kata Bahtiar dalam siaran pers tertulisnya, Selasa, 19 November 2019.
Bahtiar menegaskan bahwa Kemendagri tidak dalam posisi mendorong pelaksanaan pilkada secara tak langsung. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, kata dia, menyampaikan bahwa pilkada perlu dievaluasi dan dikaji. Evaluasi dan kajiannya akan dilakukan melalui riset oleh beberapa lembaga yang kredibel dan realible.
“Hasil penelitian yang obyektif tersebut dengan mengutamakan kepentingan negara, lalu jadi bahan rekomendasi apakah tetap mempertahankan pilkada langsung atau mengubah menjadi pilkada tak langsung dengan sejumlah perbaikan dan penyempurnaan,” ujarnya.
Terkait posisi strategis pelaksanaan pilkada, Bahtiar menuturkan pilkada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sehingga pelaksanaannya harus dikawal bersama-sama.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, tengah mengkaji sejumlah opsi-opsi sebagai solusi atas evaluasi pemilihan kepala daerah atau Pilkada langsung. Opsi-opsi yang disebut Tito antara lain, tetap dilakukan Pilkada langsung dengan meminimalisasi efek negatifnya, Pilkada kembali ke DPRD, atau Pilkada asimetris.
Pilkada asimetris adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya.
Misalnya, seperti di DKI Jakarta yang wali kota dan bupati tidak dipilih melalui Pilkada. Hal tersebut dikarenakan status daerah tingkat II di DKI Jakarta bukanlah berstatus daerah otonom tetapi sebagai daerah pembantu. Kondisi ini membuat posisi wali kota dan bupati ditentukan oleh gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).