SUARA penolakan perpanjangan dana Otsus kian deras mengalir dari eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Awalnya statemen ini disampaikan oleh mantan pentolan GAM di wilayah barat selatan Aceh, Azhar Abdurrahman, kemudian disambut oleh sejumlah kombatan Aceh Besar dan Ketua KPA Singkil.
Mereka menilai hampir 80 triliun yang disalurkan Pemerintah Pusat ke Aceh usai damai tak tepat sasaran. Tak menyentuh fakir miskin dan korban konfik serta tak meninggalkan bekas. Malah posisi Aceh kian terpuruk di posisi kedua termiskin di Pulai Sumatera.
Kondisi ini dinilai sangat kontras. Satu sisi, Provinsi Aceh bergelimbangan dana usai Tsunami dan damai. Namun di sisi lain, kemiskinan di Aceh juga kian terpuruk di jurang paling dalam. Kasus Aceh ini membuat kita semua tertuju pada statemen Rizal Ramli, yang sempat viral di media social beberapa waktu, bahwa dana Otsus Aceh itu ditilep para penguasa di Aceh.
Azhar Abdurrahman, beberapa waktu lalu, juga mengungkapkan hal yang hampir sama. Bahwa Otsus Aceh selama ini hanya memperkaya para pejabat, elit serta kebutuhan pegawai lainnya. Hanya sedikit yang mengalir, bahkan cenderung tak ada, untuk masyarakat miskin di Aceh.
Demikian juga untuk kombatan GAM, yatim piatu konflik serta korban konflik, yang menjadi sebab musabab adanya Otsus di Aceh. Mereka terlupakan. Buktinya penganggaran untuk BRA relative lebih kecil saban tahunnya.
Demikian juga untuk lembaga lembaga yang menangani persoalan konflik lainnya. Mereka cuma dapat sedikit dari triliunan Otsus yang dikuncurkan ke Aceh setiap tahunnya.
Otsus sejatinya adalah dana diyat untuk Aceh. Dana kompensasi perang untuk Aceh. Perang yang melahirkan banyak yatim piatu, korban konflik serta duka yang sangat mendalam untuk Aceh.
Namun saat Otsus disalurkan untuk Aceh, semua pihak menjadi lupa tujuan dasar dari keberadaan dana tadi. Maka wajar jika kini suara suara penolakan hadir di Aceh di tengah keinginan elit Aceh yang ingin memperjuangkan Otsus abadi untuk Aceh.
Kekecewaan barisan kombatan GAM terkait pengelolaan dana Otsus Aceh memang bisa dipahami. Hal ini dinilai jadi bumerang untuk keberlanjutan Otsus tahap 2 di Aceh.
Mereka yang selama ini menjadikan Otsus sebagai bajakan pribadi semestinya malu hati serta segera bertobat. Karena bersenang-senang di atas dana diyat adalah dosa besar. []