JAKARTA – Berdasarkan hasil monitoring dan analisis dinamika atmosfer, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi pada 2020 tidak terindikasi akan terjadinya El Nino atau La Nina kuat. Sementara untuk kondisi suhu muka laut perairan Indonesia diprakirakan normal hingga cenderung hangat yang bertahan hingga Juni 2020.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan hingga akhir tahun 2020, curah hujan bulanan sepanjang tahun 2020 cenderung sama dengan pola normal (klimatologinya). “Awal musim hujan akhir 2019 telah diperkirakan akan lebih mundur dari normalnya, juga bila dibandingkan tahun 2018 lalu,”paparnya.
Curah hujan Januari – Maret 2020 diperkirakan tinggi terutama di bagian selatan Pulau Sumatera, Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara, Kalimantan bagian tengah, Sulawesi dan Papua.
Sementara untuk awal musim kemarau 2020 diprakirakan juga mirip dengan normalnya, yaitu sekitar April – Mei 2020. “Tetap perlu diwaspadai wilayah yang mempunyai 2 kali periode musim kemarau seperti di Aceh dan Riau, dimana Kemarau Pertama umumnya terjadi di bulan Februari – Maret,” tuturnya.
Untuk periode musim kemarau 2020 (April – Oktober), lanjutnya, curah hujan saat kemarau akan mirip dengan pola normalnya. Namun demikian, kondisi Musim Kemarau 2020 tidak akan sekering tahun 2019 di sebagian besar wilayah Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara).
Sementara sepanjang 2019, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebutkan, hingga Desember 2019, tercatat 343 kejadian banjir, 340 tanah longsor, banjir disertai tanah longsor di 5 lokasi, serta 554 kejadian puting beliung. Kemarau panjang dan kekeringan di tahun 2019 turut memicu 52 kejadian kebakaran hutan dan lahan dan bencana asap.
Di samping itu, data kegempaan menyebutkan di tahun 2019 telah terjadi 11.573 kali gempa, di antaranya terdapat 344 kali gempa diatas M.5 (magnitudo 5) dan 17 kali gempa merusak. Berdasarkan peta aktivitas gempabumi (seismisitas) selama tahun 2019, tampak kluster aktivitas gempabumi paling padat terjadi di daerah Nias, Lombok-Sumba, Laut Maluku Utara, Ambon, Laut Banda, dan Sarmi-Mamberamo.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan kekeringan pada tahun 2019 yang berdampak pada sektor pertanian, sumber daya air, kehutanan, dan lingkungan ini turut dipicu oleh fenomena El Nino yang aktif dari September 2018 hingga Juli 2019 di Samudera Pasifik ekuator bagian tengah. Kemudian diikuti pula oleh fenomena Dipole Mode fase positif Samudera Hindia (IOD+) yang menguat sejak April 2019 hingga Desember.
Kekeringan tahun 2019, tambahnya, menjadi cukup parah salah satunya adalah karena lebih dinginnya suhu permukaan laut di wilayah Indonesia terutama bagian selatan >0.5°C dari kondisi normalnya pada periode Juni – November 2019. Suhu permukaan laut yang lebih dingin menyebabkan sulitnya pertumbuhan awan yang berpotensi hujan akibat kurangnya kadar uap air di atmosfer akibat rendahnya penguapan dari lautan.
“Secara umum, musim kemarau tahun 2019 menunjukkan kondisi lebih kering dari musim kemarau tahun 2018 dan acuan normal klimatologis tahun 1981-2010, meski tidak lebih kering dari kondisi musim kemarau tahun 2015 saat terjadi fenomena El Nino kuat pada waktu itu,” ujar Dwikorita.
Selain itu, sambungnya, tingkat kekeringan meteorologis juga ditunjukkan oleh periode tanpa hujan lebih dari 3 bulan (90 hari) yang cukup merata terjadi di Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian besar Jawa. “Daerah Rumbangaru, Sumba Timur mencatat rekor hari tanpa hujan terpanjang pada tahun ini yaitu 259 hari,” terangnya.
Ia juga menyatakan panjang musim kemarau 2019 di Indonesia cenderung lebih panjang dari normalnya. Pada tahun 2019, ~46% dari 342 Zona Musim di Indonesia mengalami panjang musim kemarau sama hingga lebih panjang 6 dasarian (2 bulan) dari normalnya.
Hingga 20 Desember 2019, ungkapnya, musim kemarau masih berlangsung di Jatim bagian timur, sebagian besar P. Sulawesi, sebagian Kep. Maluku, Papua Barat, dan Papua bagian selatan.
“Salah satu dampak kekeringan yang cukup parah pada tahun ini adalah memburuknya kualitas udara lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan pada Agustus hingga Oktober 2019,” ujarnya.
BMKG pun mencatat konsentrasi debu polutan berukuran <10 mikron (PM10) di wilayah Sumatera menunjukkan kecenderungan tinggi. Pada bulan September, konsentrasi semua wilayah di Sumatera melebihi nilai ambang batasnya (150 ug/m3).