BANDA ACEH – Muhammad Reza Maulana, SH, salah satu Pengacara Samsul Bahri (Tiyong), turut berkomentar tentang pemberitaan yang dimuat oleh salah satu media online atau dialeksis.com dengan judul pemlintiran fakta persidangan merupakan sikap tak beretika.
Hal ini disampaikan Muhammad Reza Maulana dalam siaran pers yang diterima atjehwatch.com, Rabu siang 8 Januari 2020.
Menurut Maulana, demikian ia biasa disapa, agar apa yang disampaikan peneliti JSI itu tidak menyesatkan public, maka dirinya menyarankan agar sang peneliti tersebut untuk belajar lebih giat soal hukum sebelum tampil ke public.
“Ada baiknya pahami dulu, baru disampaikan ke publik. Karena menyampaikan apa yang tidak benar benar dipahami hanya akan membuat malu dirinya dan lembaganya,” kata Maulana.
“Yang perlu dipahami adalah, putusan pengadilan dalam perkara perdata itu ada 4 jenis yaitu, dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebahagian, ditolak dan tidak dapat diterima. Jika gugatan tidak dapat diterima, artinya si penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya baik formil maupun materil, sehingga menyatakan tidak ada pihak yang menang dan kalah dalam putusan tersebut, adalah bentuk ketidakpahaman hukumnya si peneliti itu.”
Selanjutnya, kata Maulana, selalu ada Pihak yang kalah dan menang dalam proses beracara di pengadilan.
“Pihak yang gugatannya ditolak atau tidak diterima, maka pihak itu disebut pihak yang kalah dan oleh karenanya pengadilan membebankan biaya perkara kepada pihak yang kalah tersebut. Namun sebaliknya apabila pihak yang digugat, kemudian pengadilan menyatakan bahwa menerima dalil-dalil hukum yang disampaikan baik dalam eksepsi maupun jawabannya, maka pihak tersebut adalah pihak yang menang sehingga tidak dibebankan biaya perkara kepadanya.”
“Jadi menurut hemat saya, sebaiknya lebih banyak lagi meneliti tentang sidang dan proses persidangan, agar apa yang disampaikan ke publik dapat bernilai ilmu,” kata Maulana.
Pria yang akrab disapa MRM ini juga menyampaikan, bahwa selama Kongres Luar Biasa tidak dinyatakan batal oleh Pengadilan, maka KLB yang dilaksanakan DPP PNA tanggal 14 September 2019 adalah sah menurut hukum, baik berdasarkan AD/ART, maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Jadi, tak perlu nebeng dengan kasus yang besar untuk menaikkan nama diri dan lembaga, cukup memupuk integritas dan kapasitas ilmu agar dapat diakui oleh rakyat banyak,” ujar Maulana lagi. []