Kehidupan masyarakat Tionghoa di Banda Aceh sudah ada sejak lama, bahkan pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh.
Menurut sejarah, hubungan antara Aceh dan China terjalin sejak abad ke-17 Masehi. Saat itu para pedagang dari China datang silih berganti ke Aceh. Di antara mereka ada pedagang musiman, ada juga yang permanen. Mereka tinggal di perkampungan China di ujung kota, dekat pelabuhan.
Rumah para pedagang tersebut berdekatan satu dengan lainnya. Lokasi yang dulu digunakan etnis China sebagai tempat menurunkan barang sebelum didistribusikan itu kini dikenal sebagai Peunayong.
Peunayong disebut juga dengan China Town-nya Aceh. Di lokasi ini berdiri empat vihara, yaitu Vihara Dharma Bhakti, Maitri, Dwi Samudera dan Sakyamuni.
Dharma Bhakti adalah yang tertua. Vihara bercat putih dan merah itu masih berdiri kokoh di antara pertokoan di Jalan T Panglima Polem, Banda Aceh. Dua patung naga berdiri di atas atap depan. Di belakang bangunan, terdapat pusat studi bagi mereka yang beretnis Tionghoa.
Sekretaris Vihara Dharma Bhakti, Hasan Go alias Cheng Guan menyebutkan, tempat ibadah ini sudah ada sejak tahun 1878. Dulu, letaknya bukan di Peunayong, melainkan di pesisir Pantai Cermin, Ulee Lheue, Banda Aceh.
“Vihara sudah ada di Pantai Cermin di Ulee Lheue, jadi itu dari tahun 1878 sudah ada vihara itu, baru dipindah ke Peunayong,” kata Hasan Go kepada CNNIndonesia.com di Vihara Dharma Bhakti, Sabtu (25/1).
Namun lokasi awal dinilai tidak aman, lantaran saat itu Perang Dunia sedang berkecamuk. Bom Sekutu bahkan menghancurkan Dharma Bhakti, memaksa vihara untuk dipindahkan pada 1936.
“Pada tahun 1936 dipindah ke Peunayong agar lebih aman, karena waktu itu Perang Dunia kedua sedang berlangsung,” sebutnya.
Bangunan baru Dharma Bhakti tersebut didirikan di atas lahan reruntuhan. Keberadaan itu seiring dengan pertumbuhan ekonomi di Peunayong berupa ruko-ruko, menjadi bukti gambaran aktivitas masyarakat etnis China di sana.
Hasan Go menuturkan, pembangunan Vihara Dharma Bhakti di tempat awal, di Pantai Cermin, Ulee Lheue dulu tak terlepas dari aktivitas etnis Tionghoa yang melakukan perdagangan hingga ke Aceh. Mereka kemudian beranak pinak dengan orang pribumi, lalu menetap di Aceh.
Dari catatan sejarah yang diketahui Hasan Go, jejak bangunan Vihara di Pantai Cermin sudah tidak terlihat lagi. Sebagai bukti, kata dia, di Pantai Cermin, Ulee Lheue itu banyak terdapat kuburan China. Tetapi itu pun tak banyak, hanya menyisakan beberapa kuburan, karena kebanyakan hilang tersapu tsunami pada 2004 silam.
“Etnis Tionghoa banyak yang tinggal di Pantai Cermin dulunya. Di sana ada kuburan etnis Tionghoa, tapi habis karena disapu tsunami,” katanya.
Kini, Vihara Dharma Bakti di Peunayoung menjadi tempat ibadah bagi sekitar 3 ribu warga Tionghoa yang ada di Kota Banda Aceh maupun yang datang dari luar Aceh. Provinsi yang berstatus daerah Syariat Islam itu tetap menjamin kenyamanan beribadah masyarakat non-muslim.
Vihara ini cukup mudah ditemui, letaknya tepat di pinggir jalan. Selain itu, vihara juga sangat dekat dengan Masjid Raya Baiturrahman, hanya berjarak sekitar 500 meter.
Perayaan hari raya Imlek di Banda Aceh berjalan aman dan lancar. Hasan Go mengatakan perayaan Imlek di tahun tikus logam ini berlangsung tanpa hambatan apapun, seperti juga perayaan di tahun-tahun lalu.
Meski berlaku Qanun Syariat Islam, kata dia, masyarakat Aceh dinilai memiliki tingkat toleransi yang sangat baik terhadap perbedaan.
“Contohnya, ketika kami ada acara, tidak pernah ada masalah, dari dulu sampai sekarang,” ujarnya.