BANDA ACEH – Akademisi Universitas Abulyatama (Unaya), Usman Lamreung, kembali menyoroti kepergian sejumlah sejumlah elite Badan Pengusahaan Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang (BPKS) yang mirip liburan akhir tahun 2019 ke Labuan (dekat Brunei Darussalam) dan Singapura.
Kali ini, Usman meminta tim BPKS ke Labuan yang dipimpin Plt Wakil Kepala Islamuddin dan tim ke Singapura yang dipimpin Zulkarnein untuk memaparkan pelajaran berharga yang didapat dari dua studi tour itu.
“Saudara Islamuddin sebagai Ketua Tim Studi Tour BPKS ke Labuan dan Saudara Zulkarnein sebagai tim ke Singapura kami minta untuk memaparkan hasil kunjungan ke luar negeri pada akhir 2019. Kedua tim perlu memaparkan rencana aksi pengembangan free port Sabang dan Pulo Aceh pada tahun 2020 sesuai hasil studi tour ke luar negeri,” kata akademisi yang juga tokoh Aceh Besar yang dikenal kritis ini.
Menurut Usman, dia selaku orang Aceh Besar berkewajiban mengawal BPKS khususnya dalam pengembangan free port di Pulo Aceh. “Pulo Aceh, Aceh Besar, harus dikembangkan minimal mirip dengan Labuan. Kami yakin tim yang sudah berkunjung ke Labuan pasti mampu melakukannya,” ujar Usman yang pekerja BRR NAD-Nias ini.
Usman menyayangkan ada indikasi “saling serang” di internal BPKS pasca tour ke luar negeri. “Sejumlah kejanggalan dalam kunjungan ke Singapura menuai berbagai masalah di internal BPKS, saling menyalahkan dan secara resmi dipublish di media lagi. Ini menandakan managemen BPKS akhir-akhir semakin tak becus, beda dengan masa-masa sebelumnya. Seharusnya makin lama bagus, ini malah makin kacau,” katanya.
“Kenapa terjadi saling serang di internal BPSK? Karena tour ke luar negeri elite BPKS sudah bocor ke publik, dan Deputi Komersil dari awal tak mau ikut karena tujuannya memang tak jelas, hanya foya-foya dari dana DIPA Perubahan 2019. DIPA saja sengaja direvisi secara dadakan agar ada dana untuk jalan-jalan para petinggi. Ini namanya pemborosan uang rakyat, tak dapat dibenarkan apa pun alasannnya,” tegas Usman.
Keanehan makin menjadi-jadi ketika Dewan Pengawas BPKS pun diam seribu bahasa atas “foya-foya” elite BPKS yang terang-terangan.
“Dewas BPKS terkesan seperti membenarkan, membiarkan pemborosan keuangan negara oleh sejumlah “oknum” elite BPKS. Ini kan makin aneh jadinya,” kata Usman.
Beranjak dari sejumlah kejanggalan, Usman lalu melakukan kajian dan analisis tentang perjalanan ke luar negeri pejabat BPKS ke Labuan dan Singapura yang menghabiskan uang rakyat hampir setengah miliar rupiah itu.
Usman menyimpulkan, antara lain; pertama, Fauzi Husin, Kepala BPKS Periode 2012-2017, yang kami hubungi mengatakan bahwa pada akhir 2017 pasca lelang proposal dengan Global Port belum ada agreement, dikarenakan belum ada kesepakatan teknis tentang pola kerja sama masing-masing kegiatan yang akan dikelola Global Port. Maka bisa dipastikan kontrak/agreement dengan Global Port belum bisa ditindaklanjuti.
Kedua, dari sumber yang kami dapatkan bahwa kerja sama dengan Global Port tahun 2016 sudah berakhir, tidak ada hubungannya dengan lelang proposal pada tahun 2017. Setelah berakhirnya kontrak tahun 2017 tidak ada perpanjangan agreement dengan Global Port. Selanjutnya pihak Global Port tidak mempersalahkan apapun terkait dengan lelang proposal tersebut sampai saat ini.
Ketiga, terkait dalam penjajakan kerja sama tersebut, Global Port lebih tertarik pengelolaan Pelabuhan Ulee Lheu Banda Aceh, saat itu manajemen BPKS mengarahkan ke Gubernur, dan pada waktu itu Gubernur Irwandi tidak tertarik, karena tidak ada deposit dari Global Port. Malah Global Port membuat kerja sama dengan Pemko Banda Aceh bidang Parawisata dan Bisnis Terpadu dengan Operasional dan Kemampuan Investasi dengan tujuan untuk pembangunan hijau dan biru, pelaksanaan agreement Desember 2018.
Oleh sebab itu, patut diragukan apa yang disampaikan oleh Kepala Unit Pelabuhan saudara Zulkarnein di media bahwa tim BPKS ke Singapura tidak menemukan alamat Global Port di kawasan Suntech Tower One, 7 Temasek Boulivard, The Penthouse, Singapura 038987.
Kalau perusahaan bodong bagaimana mungkin melakukan penjajakan dengan Pemerintah Aceh, melakukan MoU dengan Pemko Sabang pada tahun 2018, melakukan MoU dengan Pemko Banda Aceh pada akhir 2018, melakukan Penjajakan Kerjasama dengan Pemkab Aceh Barat. Jangan mencari-cari kambing hitam untuk kepentingan pribadi bertamasya ke luar negeri dengan uang rakyat. Apalagi sebelum berangkat pihak Global Port sudah ada komunikasi bahwa tidak dapat menerima tim BPKS berhubung Natalan dan Tahun Baru, namun anehnya tetap dipaksakan untuk berangkat ke Singapura.
Keempat, tujuan Surat Tugas No.090/745/2019 Tanggal 09 Desember 2019 adalah untuk bertemu dengan Global Port kenapa dalam laporan ada pertemuan dengan KBRI. Artinya perjalanan tersebut tidak sesuai dengan Surat Tugas. Ini sudah melanggar aturan perjalanan dan merugikan keuangan negara. Ini bisa menjadi temuan bila ada audit keuangan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), maka sebelum berkasus bagusnya kembalikanlah uang negara yang dipergunakan untuk bertamasya ke Singapura.
Kelima, dalam DIPA BPKS, Misi Promosi dan Kerjasama Singapore sebelum direvisi hanya Rp. 77.500.000 untuk 2 (dua) orang. Kemudian direvisi menjadi Rp. 407.725.000. Hal ini diduga sengaja direvisi supaya bisa bertamasya secara bergerombolan di akhir tahun.
Keenam, izin Sesneg juga penuh keanehan. Pertama: Surat ke Menteri Sekretariat Negara Nomor 090/BPKS/442 Tgl. 04 Desember 2019 kenapa Plt. Wakil Kepala BPKS yang tandatangani? Secara etika ini sudah tidak baik, surat untuk Kementerian harusnya Kepala yang tandatangani dengan persetujuan Gubernur, bukan malah diteken sendiri oleh Plt. Wakil Kepala Saudara Islamuddin, sementara Kepala tidak tahu hal ini. Kedua: Izin Sesneg Nomor B-4948/Kemensetneg/Ses/LN.00.00/12/2019 Tgl. 04 Desember 2019 terkesan aneh. Biasanya ada undangan dari luar negeri dalam hal ini dari Global Port sebagai tuan rumah, sementara ini tidak ada undangan kenapa ini bisa terbit? []