LAPANGAN Tugu Darussalam ramai di pagi hari. Sejumlah sepeda motor lalu lalang hampir tiap detik. Ibnu berhenti pas di pintu masuk tugu. Di sinilah ia janji dengan Riska untuk bertemu dan kembali tukaran sepeda motor.
Mereka janji ketemu pukul 09.00 WIB. Tapi ia tiba di lokasi pukul 08.30 WIB. Ia tak ingin membuat gadis itu menunggu.
Ibnu mengamati sekeliling, gadis itu ternyata memang belum datang. Gadis itu tak salah. Hanya dirinya yang datang lebih cepat dari jadwal semestinya. Ia kemudian melangkah mendekati Tugu Darussalam.
Di sana terdapat tulisan yang kini menjadi catatan emas untuk tiga kampus terbesar di Aceh. Unsyiah, UIN Ar-Raniry serta Chik Pante Kulu.
“Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata. Darussalam menuju kepada pelaksanaan cita-cita. Ir. Soekarno, 2 September 1959.”
Ia sepakat dengan kata-kata yang tertera di sana. Kalimat inilah yang menghipnotis ribuan warga di sekitaran Darussalam untuk bergotong royong membuka semak belukar Darussalam guna mendirikan kampus ternama di Aceh. Kemudian dari kampus itulah lahir pemikir-pemikir di Aceh. Walaupun sebahagian besar dari mereka tak pernah mengenal orang-orang yang berjasa tadi.
Sukarno memang motivator ulung, tapi ia memiliki riwayat sejarah yang tak baik dengan Aceh. Almarhum ayah Ibnu adalah orang yang mencaci Sukarno. Bagi ayahnya, Sukarno adalah pembohong dan tukang kawin.
“Kesetiaan Aceh dibalas dengan pengkhianatan. Ia membalas kesetiaan Aceh dengan perang.”
Kalimat itu berulangkali disampaikan ayahnya setiap berkunjung ke rumah sebulan sekali. Ayahnya memegang teguh setiap janji yang diucapnya. Bahkan untuk menunaikan janjinya, ia rela menerjang peluru serta swepping TNI. Saat itu, ia masih kecil dan sukar memahami apa yang disampaikan ayahnya itu.
“Mas Ibnu.” Tiba tiba suara itu terdengar dari arah belakang.
Ibnu membalik badan. Di hadapannya, terlihat gadis cantik bertubuh semampai. Kali ini ia memakai gamis panjang warna merah muda. Gadis itu terlihat bersolek. Ada lipstick merah di bibir yang membuatnya terlihat semakin menawan. Bau mawar tercium dari kejauhan. Dia bak model hijab dari perusahaan ternama.
“Riska?” ujar Ibnu tiba-tiba. Ibnu sedikit ragu. Ia tak mau salah menyapa orang. Soalnya, pertemuan perdana kemarin sore, gadis itu berpenampilan biasa. Ibnu kemudian mematung.
“Iya Mas. Ini saya. Maaf jika penampilan hari ini sedikit beda. Ada pesta di rumah kawan,” jawab sang gadis. Dia menunduk kepala.
Ibnu mencoba menguasai diri. Ia tak ingin jika gadis itu mengira yang bukan-bukan terhadap dirinya. Ibnu mengambil STNK serta uang lembaran 50 ribu dari dompet dan diserahkan ke gadis itu tanpa menyentuh tangan dan melihat wajah.
“Itu keretanya. Mudah mudahan tak mogok lagi,” ujar Ibnu sambil berjalan ke arah sepeda motor yang terparkir dekat pintu masuk. Sepeda motor mereka, ternyata terparkir tak berjauhan.
Riska justru terkejut melihat Ibnu mengembalikan uang 50 ribu yang diserahkannya kemarin sore.
“Mas kenapa uangnya dikembali. Kan ini untuk Mas,” ujar gadis itu.
Ibnu tersenyum. “Kan udah saya bilang, tukang bengkel tak meminta uang untuk memperbaiki sepeda motormu. Hanya busi yang kotor. Dibersihi dan langsung nyala. Jadi saya kembalikan.”
“Bukan ngitu Mas. Kan Mas udah dorong sepeda motor ke bengkel. Anggap saja ini sebagai ganti letih dorong,” kata sang gadis lagi.
Kali ini, Ibnu tertawa kecil. “Tak apa-apa. Saya ikhlas kok membantu. Saling tolong menolong itu kewajiban. Setiap muslim itu harus saling membantu kan.”
Penjelasan Ibnu itu membuat sang gadis terdiam. Sang gadis seperti berpikir sesuatu. Ia kemudian tersenyum.
“Kalau enggak ngini aja Mas. Saya traktir Mas kelapa muda di sana. Kali ini tolong jangan ditolak ya!” ujarnya tiba-tiba.
“Saya tahu apa yang Mas pikirkan. Di sana kan ramai, jadi gak ada setannya kok. Saya hanya ingin berterimakasih atas kebaikannya Mas,” kata Riska tersenyum sambil menunjuk ke warung kecil-kecil di sebelah kanan Lapangan Tugu. Para pedagang di sana menjual kuliner murah meriah.
Ibnu sempat terdiam tapi akhirnya mengangguk tanda setuju.
[Bersambung]