Penulis Musa AM
IBNU keringatan. Beberapa butir peluh turun dari rambutnya membasahi wajah. Padahal suasana masih pagi.
Matahari juga tak sedang menyengat anak adam seperti biasanya.
Ibnu keringatan karena ia dan Riska duduk saling berhadapan. Mereka hanya dipisahkan dengan meja kecil setinggi lutut pria dewasa. Apalagi Riska menatapnya berulangkali tanpa dosa. Gadis itu sepertinya tak sadar jika pesonanya mampu membuat setiap pria mabuk kepayang.
“Enak ya Mas, mie Aceh. Rempahnya terasa banget. Beda dengan mie di daerah kelahiran Riska,” ujar dia memulai percakapan. Hampir 10 menit mereka saling diam. Si Abang pedagang berulangkali tersenyum melihat Ibnu.
“Oya Mas, kita kenalan dong. Dari kemarin cuma kenal nama doing,” kata dia lagi.
“Saya Riska Hadayani. Mahasiswi semester dua Fisipol Unsyiah. Asal Ngawi, Jawa Timur. Baru setahun lebih sedikit di Aceh.”
Ibnu mencoba tersenyum. Ternyata memang benar jika Riska asal Jawa. Biarpun memakai pakaian muslimah, ia tergolong ceplas ceplos tapi asyik dijadikan lawan bicara. Ia cepat berbaur.
“Dekat dengan jurusan Mas kan?” katanya lagi.
Perkataan Riska ini membuat kening Ibnu sedikit berkerut. Riska buru buru meralat perkataannya.
“Dekat dengan kampus Mas Ibnu. Gedungnya FISIP kan berdekatan FKIP. Kemarin Riska lihat pin FKIP di tas saat Mas tidur di bantaran sungai,” ujar dia.
Penjelasan Riska membuat Ibnu tersenyum. Wanita itu ternyata cukup teliti.
“Ia. Saya Ibnu Hajar, mau masuk semester 4 di FKIP Sejarah Unsyiah. Kita satu universitas berarti. Cuma beda kampus.”
Suasana kemudian tiba tiba hening. Ibnu mencoba menyedot sisa air kelapa di depannya. Airnya cukup manis. Apalagi oleh penjual ditambah gula dalam airnya. Sementara Riska terlihat santai menyantap mie Aceh di depannya.
Seumur hidup, ini merupakan kali pertama bagi Ibnu duduk semeja dengan seorang gadis yang hampir sebaya dengan dirinya. Hal inilah yang membuat dirinya gugup dan salah tingkah. Jantungnya berdetak cepat. Namun Ibnu mencoba menutupi rasa itu dengan berpura-pura menikmati air kelapa di depannya.
Sedangkan Riska justru lebih rileks. Ia berulangkali menatap wajah Ibnu dari jarak dekat sambil tersenyum. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu. Tapi Ibnu tak ingin menilai orang hanya dari apa yang dipikirkannya.
“Mungkin kultur beda. Gadis itu terlahir di daerah yang kultur sosialnya sedikit lebih longgar. Sementara di Aceh yang menerapkan syariat Islam, sedikit lebih tertutup,” gumam Ibnu dalam hati.
“Riska, panggil saya Ibnu aja ya. Jangan dipanggil Mas. Di sini agak aneh jika ada panggilan Mas,” ujarnya kemudian.
Riska tersenyum. Ia kemudian mengangguk.
“Iya deh, Bang Ibnu. Cocokan dipanggil Bang Ibnu. Maaf belum terbiasa. Di tempat asal Riska, untuk lelaki yang lebih tua dari kita, semua dipanggil Mas,” ujar dia.
Ibnu mengangguk tanda setuju. Dia dari awal memang memahami panggilan tadi usai mengetahui sosok itu berasal dari Jawa.
“Kalau di sini, panggilan Mas itu untuk penjual es krim atau tukang bakso,” ujar Ibnu bercanda guna mencairkan suasana.
Mendengar hal ini, Riska tertawa kecil. “Walah. Kalau di tempat asal Riska, justru kata Abang itu ditunjukan untuk pedagang bakso,” ujarnya kemudian.
Keduanya kemudian tertawa lepas. Si Abang pedagang di samping terlihat tersenyum melihat keduanya. Sedari tadi, ia cemas melihat sang laki-laki muda di depannya bertingkah kaku seperti orang yang baru pertama kali berhadapan lawan jenis.
“Ganteng-ganteng tapi keringatan di depan cewek. Membuat malu pria Aceh saja,” gumam si abang pedagang sambil mengamati kedua sejoli itu dengan seksama. Diam-diam ia nguping pembicaraan mereka.
“Oya. Bisa dipercepat tidak makannya, saya mau ke kampus,” ujar Ibnu tiba-tiba. Riska melongo. Si Abang pedagang tepuk jidat tiba-tiba.
[Bersambung]