“Tapi Raina bukan tentara. Hanya ayahnya yang tentara. Apakah itu tidak terlalu kejam baginya,” ujar Riska tiba-tiba menimpali.
Riska berharap persepsi Ibnu soal traumanya di masa lalunya itu tak mendalam. Itu membuka peluang baginya untuk mendapatkan hati lelaki di depannya itu. Status Raina sama seperti dirinya. Jika Ibnu menjauhi Raina karena ayahnya yang tentara, maka hal yang sama juga berlaku baginya.
Di sisi lain, ia juga berharap Ibnu tak benar-benar menyukai Raina.
“Ya, mungkin ini terlalu kejam baginya. Aku menyukainya sebagai teman. Tak lebih. Kemudian traumaku muncul ketika mengetahui ayahnya seorang tentara. Aku hanya sedikit menjauh dari posisi teman menjadi kenalan,” ujar Ibnu kemudian.
Penjelasan Ibnu ini benar-benar membuat Riska serba salah. Ia kini tahu bahwa Raina pernah menyatakan cinta pada pria di depannya itu. Meski Riska kini mengetahui bahwa Ibnu cuma menganggap Raina teman. Kini, seperti kata Ibnu, bergeser ke status kenalan.
Di sisi lain, ia juga memiliki harapan yang sama seperti Raina. Padahal mereka berdua adalah sahabat.
Namun Ibnu sendiri memiliki masa lalu yang kelam. Ia trauma dengan baju loreng. Padahal, ayahnya dan ayah Raina adalah tentara republic.
“Kalau sama orang Jawa, apakah Bang Ibnu juga memiliki sentiment yang sama,” tanya Riska kemudian.
Ibnu tersenyum terkait pertanyaan Riska itu. Ia tahu bahwa Riska menanyakan hal itu tentang dirinya. Padahal sudah bertahun-tahun pula ia menjawab hal yang sama.
“Tidak. Aku sudah berulangkali menjelaskan padamu. Ini bukan soal suku. Orang Jawa yang berada di Aceh saat konflik juga mengalami hal yang sama seperti diriku. Kami kurang beruntung karena lahir di daerah konflik,” ujar Ibnu.
“Aku tak pernah menyesal lahir dari orangtuaku yang GAM. Aku hanya trauma pada baju loreng. Aku pikir, keluarga tentara juga akan berpikir yang sama jika berhubungan dengan anak GAM,” ujar Ibnu.
Riska mengerut kening.
“Maksud Bang Ibnu?” ujarnya kemudian.
“Ayah Raina tentara. Cepat atau lambat, ia tentu akan meminta gadis itu menjauhiku ketika tahu bahwa aku adalah anak dari GAM. Maka menjauhinya adalah pilihan terbaik. Sebelum Raina benar-benar terluka,” jawab Ibnu.
Namun Riska tak sependapat dengan jawaban yang disampaikan oleh Ibnu. Ayahnya adalah tentara. Kakeknya juga seorang tentara dan meninggal dalam konflik Aceh, tapi ibunya tak pernah menaruh dendam sedikitpun kepada orang-orang di Aceh. Ia malah bercerita yang baik-baik tentang Aceh.
Ibunya mampu mengubah persepsi ayahnya tentang Aceh dan mencintai daerah ini seperti daerah kelahirannya sendiri. Ayahnya kini bahkan lebih Aceh dari orang-orang Aceh itu sendiri.
“Apakah Bang Ibnu pernah berkomunikasi langsung dengan keluarga tentara sehingga membuat asumsi seperti tadi?” ujar Riska kemudian. Ibnu menggeleng.
“Lantas kenapa abang berkesimpulan seperti tadi?” ujar Riska.
Ibnu terdiam. Ia benar-benar kehabisan kata-kata berdebat dengan gadis keturunan Jawa itu. Gadis itu sangat cerdas.
“Bukankah kita sepakat Mas bahwa konflik di Aceh harus berakhir? Salah satu caranya adalah menumbuhkan keikhlasan. Melupakan masa lalu?” kata Riska lagi.
Ibnu seperti ditodong lewat kata-kata Riska. Kali ini ia seperti mati kutu.
“Entahlah Ris. Mungkin jika posisi kita tertukar. Aku akan berpendapat sepertimu, dan kamu akan ego sepertiku,” ujarnya.
Riska mengangguk. Kalimat Ibnu terakhir ada benarnya. Beberapa tahun lalu, saat ia hendak ke Aceh, ia melihat Aceh dengan kengerian yang hampir sama, seperti perkataan lelaki itu. Ada banyak kalimat ‘hantu’ tentang Aceh. Seolah-olah Aceh adalah Jalur Gaza-nya di Timur Tengah.
Namun persepsinya berubah ketika melalui hari-hari di daerah paling ujung Sumatera ini. Pesona dan kearifan local Aceh justru membuatnya jatuh hati. Seperti kata mendiang ibunya, Aceh akan membuat siapapun jatuh hati.
[Bersambung]