DEEN HAAG – Setelah api peperangan yang berkobar selama 19 tahun mereda, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) memutuskan untuk mengizinkan jaksa penuntut umum melakukan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang di Afghanistan, baik oleh Taliban, Amerika Serikat (AS), maupun Pemerintah Afghanistan.
Keputusan itu disampaikan selama sidang banding. Sebelumnya, jaksa penuntut tidak menerima hasil keputusan hakim yang menolak permintaan penyelidikan dugaan kejahatan perang dan kemanusiaan di Afghanistan pada April tahun lalu. Hakim Piotr Hofmanski mengatakan, hakim sebelumnya melakukan kesalahan.
“Setelah menimbang alasan banding jaksa penuntut serta pengamatan dan pengajuan dari perwakilan berbagai korban dan peserta lainnya, kami menemukan bahwa hakim persidangan sebelumnya melakukan kesalahan interpretasi dalam menimbang permintaan jaksa penuntut,” kata Hofmanski, dikutip BBC.
Jaksa Penuntut ICC Fatou Bensouda telah meminta ICC membuka penyelidikan kejahatan perang di Afghanistan sejak November 2017. Tiga bulan kemudian, dia membawa saksi dan para korban ke Den Haag, Belanda, untuk menjawab keraguan hakim. Namun, Majelis ICC menolak permintaan penyelidikan tersebut.
Sejauh ini, tidak diketahui alasan pasti penolakan sebelumnya. Namun, ICC setidaknya menimbang tiga aspek. Pertama, jaksa penuntut harus dapat mengemukakan apakah wilayah kejahatan berada di dalam yurisdiksi ICC dan apakah kejahatan terjadi di ambang batas darurat sehingga memerlukan perhatian khusus ICC.
Kedua, jaksa penuntut perlu menunjukkan Afghanistan tidak mampu mengatasi kejahatan itu sendiri dan bersedia membuka diri. Ketiga, jaksa penuntut harus mampu menunjukkan alasan mengapa kasus tersebut dapat memengaruhi orang banyak dan tidak akan membawa dunia pengadilan ke dalam stigma negatif.
Bensouda mengatakan, kejahatan perang di Afghanistan diyakini terjadi sejak 1 Mei 2003. Namun, hakim dalam sidang sebelumnya bersikeras tidak ada bukti cukup kuat untuk mendukung tuduhan tersebut. AS dan Afghanistan yang berkoalisi memerangi Taliban juga tidak bersedia menggiring kasus itu ke ranah hukum.
Keputusan baru ICC akan membuka pintu penyelidikan dan penegakan keadilan di Afghanistan. Hal itu disambut baik aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). “Terima kasih kepada korban yang memaparkan kesaksian dan aktivis Afghanistan yang bekerja tanpa rasa takut dan lelah ” kata aktivis HAM, Shaharzad Akbar.
Namun, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo mengecam keputusan itu. Dia mengatakan Pemerintah AS akan mengambil tindakan apa pun untuk melindungi militer AS. “Ini adalah tindakan yang diambil lembaga politik yang tidak bertanggung jawab yang menyamar sebagai badan hukum,” kata Pompeo.
AS belakangan ini telah menandatangani kesepakatan perdamaian dengan Taliban di Doha, Qatar, 29 Februari lalu. Kesepakatan yang mengakhiri perang terpanjang di Afghanistan tersebut ditandatangani utusan AS Zalmay Khalilzad dan wakil pemimpin Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar dan disaksikan Pompeo.
Perjanjian itu juga membuka jalan untuk penarikan penuh pasukan AS dari Afghanistan dimulai dengan pengurangan pasukan dari 13.000 menjadi 8.600 dalam beberapa bulan. Menurut komandan utama AS di Afghanistan, Jenderal Austin “Scott” Miller, hal itu dilakukan berdasarkan perintah Presiden AS Donald Trump.
Setelah kesepakatan ditandatangani, pemerintah Afghanistan harus membentuk tim negosiasi dan mengatur pertukaran tahanan. Taliban akan memberikan daftar 5.000 tahanan Taliban yang saat ini masih ditahan pemerintah Afghanistan. Sebagai gantinya, sebanyak 1.000 pasukan Afghanistan akan dibebaskan.
Seperti dilansir Washington Post, mantan pejabat senior Taliban Abdul Salam Zaeef menyambut baik hasil negosiasi tersebut. Meski begitu, pejabat pemerintah Afghanistan mengatakan pertukaran tahanan semacam itu hanya akan dilakukan apabila kedua belah pihak sudah bertemu dan menekan kesepakatan serupa.
Hambatan lain setelah kesepakatan ditandatangani adalah pembentukan tim negosiasi inklusif untuk mewakili rakyat Afghanistan yang tidak bersekutu dengan Taliban. Delegasi tidak resmi pemerintah Afghanistan berupaya menemui pejabat Taliban di Doha pekan lalu, tetapi Taliban menolak pertemuan tersebut.
“Kami tidak mengundang atau tidak akan bertemu delegasi dari mana pun,” kata Suhail Shaheen, seorang juru bicara Taliban, dilansir Radio Mashaal. Sejauh ini, Afghanistan tidak berkomentar terkait itu. Namun, Menteri Pertahanan Afghanistan Asadullah Khalid menegaskan, tidak ingin tentara AS ada di negaranya.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani juga mengatakan, Afghanistan mampu melindungi keamanan dan kedaulatan negaranya. Dia juga berulang kali mengkritik pemerintah AS karena mengecualikan mereka dalam pembicaraan perdamaian dengan Taliban, padahal perang tersebut juga melibatkan pemerintah Afghanistan.
Kesepakatan damai dengan Taliban menjadi tujuan kebijakan luar negeri, sekaligus kampanye, Presiden AS Donald Trump. Dalam sebuah pernyataan, Trump menyebut kesepakatan itu akan membuka jalan yang lebih lebar untuk mengakhiri perang di Afghanistan dan membawa pulang puluhan ribu pasukan AS.