SAAT keadaan dirasakan aman, wanita paruh baya tadi dan dua anaknya keluar dari lokasi persembunyian. Kedua anaknya itu terlihat ketakutan.
Ini bukan kali pertama mereka digedor serta diincar oleh pria berbaju loreng. Sepekan lalu, rumah mereka di Nicah Awe juga digeledah oleh tentara republic. Para tentara mencari suaminya yang terlibat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Suaminya, salah satu pimpinan pasukan gerilya di Simpang Ulim. Namanya Hanafiah, tapi akrab disapa Teungku Fiah.
Saat itu, anaknya yang tertua turut diambil paksa. Nasib anaknya itu kini tak ada kejelasan. Ia hanya berharap anaknya itu masih hidup. Walaupun harapan tersebut sangat tipis.
Sedangkan anaknya yang kedua menderita luka yang cukup serius. Ia menerima beberapa tendangan di dada dan ulu hati saat hendak memisahkan abangnya dari penangkapan paksa.
Meski peristiwa tersebut sudah berlalu sepekan, tetapi kilas balik kejadian masih membekas di ingatan. Hal ini pula yang membuat mereka harus pindah dari satu kampung ke kampung lainnya.
Hatinya kini terasa beku. Air matanya tumpah saat mengingat nasib dirinya dan dua anaknya yang kini terluntang-luntang.
Ia mencoba bertahan demi dua anaknya ini. Ia juga tak menyalahkan pilihan hidup yang kini dijalani oleh suaminya. Saat ia menerima pinangan dari Teungku Fiah sekitar 21 tahun lalu, ia telah siap untuk keadaan seperti sekarang.
Namun saat kejadian yang dikhawatirkannya terjadi, benteng kokoh yang dibangun dalam hatinya selama bertahun-tahun, tetap runtuh. Ia tak tahan melihat anak-anaknya tersiksa karena pilihan hidup yang ditempuh oleh sang suami.
Namun di sisi lain, ia juga tak bisa menyalahkan suaminya. Saat konflik seperti sekarang, banyak keluarga yang tercerai berai. Banyak istri yang menjadi janda dan anak yatim piatu.
Orang-orang tak bersalah meninggal dunia di jalanan hanya karena salah sasaran. Salah tembak atau salah culik. Mayatnya kemudian dibuang tanpa anggota tubuh yang lengkap.
“Maaf Buk Sakdiah. Kami tak menyangka jika keberadaan ibuk disini bocor,” ujar seorang wanita tua tiba-tiba.
Wanita itu lebih tua darinya. Sosok itu muncul hanya beberapa menit saat ia dan kedua anaknya keluar dari lokasi persembunyian.
“Ia Nek Minah. Kami mendengar sendiri tadi dari balik dinding,” ujar Sakdiah. Sedangkan Nek Minah menatapnya dengan wajah iba. Nek Minah-lah yang menampung keluarganya dari kemarin.
Mereka berempat kemudian terdiam beberapa menit.
“Mak, mereka yang menculik abang. Kita cari mereka Mak, mungkin abang ada di sana,” ujar anaknya yang terkecil.
Sakdiah hanya terdiam. Sementara Nek Minah kembali menitihkan air mata.
Tak mendapat respon dari ibunya, si anak terkecil balik badan menghadang abang yang memeluknya dari tadi.
“Bang Budi, ayah kok gak pulang-pulang? Apa ayah juga dibawa oleh mereka?” tanya si kecil lagi dengan polos.
Remaja yang dipanggil Budi itu juga tak menjawab. Ia tertunduk lesu mendengar pertanyaan adiknya yang masih kecil. Si Kecil sepertinya tak sadar dengan kondisi yang sedang terjadi. Ia masih terlalu kecil untuk memahami bara konflik yang sedang menyelimuti daerah mereka.
“Ayah kita akan pulang, Nu. Ia akan datang untuk menjemput kita,” ujar Budi kemudian.
Si Kecil kemudian tersenyum. Ia senang saat mengetahui ayahnya baik-baik saja.
“Bilang sama ayah untuk datang segera ya! Aku mau sekolah lagi. Nanti dimarahi guru kalau lama tak sekolah,” ujarnya kemudian.
[Bersambung]