Oleh: Zahrul Fadhi Johan
MENDENGAR kata Snouck, atau Snouck Hurgronje¸ pikiran kita mungkin akan langsung tertuju pada satu kalimat. Pemecah-belah bangsa Aceh. Kaphe atau sebagainya.
Sosok itu memang memiliki citra yang tidak baik di Aceh. Pandangan tadi kemungkinan diceritakan secara turut temurun di Aceh.
Namun dalam tulisan kali ini, kita tak sedang membahas sejarah hidup dan politik Antropolog Belanda itu untuk Aceh. Namun lebih ke wabah penyakit yang pernah menyerang Aceh, ratusan tahun yang lalu. Konon, sama seperti sekarang, wabah di Aceh pada zaman dulu begitu mematikan. Bahkan hampir mengosongkan Aceh.
Snouck turut menulis soal wabah ini dalam catatannya. Ia juga menulis soal obat yang diresepi masyarakat Aceh ketika terlimbas wabah tadi.
Sebagaimana yang diketahui, Antropolog berkebangsaan Belanda, dengan nama lengkap Christiaan Snouck Hurgronje pernah tinggal di Aceh. Ia datang ke Aceh berkisar 1857 hingga 1936. Masyarakat Aceh menyebutnya dengan nama Teungku Puteh.
Ia bahkan menikahi warga local serta hidup dengan tradisi local pula. Snouck melakukan penelitian tentang hubungan agama dengan politik rakyat Aceh. Selama kurang lebih dua tahun (1891-1892), Snouck mempelajari berbagai perilaku masyarakat Aceh yang hidup di pesisir pantai dan dataran tinggi Aceh.
Selama melakukan penelitian, banyak hal dan perilaku masyarakat Aceh yang ia temukan. Mulai dari adat istiadat, bahasa, sosial politik, tata cara beragama, sampai dengan cara pengobatan dan jenis obat yang digunakan oleh masyarakat Aceh dalam menyembuhkan beragam penyakit.
Semua itu dituliskannya dalam beberapa buku, salah satunya tercantum pada buku The Achehnese yang terbit dalam dua jilid di Leyden (1906).
Kemudian buku tersebut diterbitkan kembali dalam versi bahasa Indonesia oleh Yayasan Soko Guru Jakarta (1985) dengan judul Aceh di Mata Kolonial Jilid I dan Jilid II.
Ia menulis soal wabah ta’eun. Karena masa masa tersebut wabah sedang menyerang Aceh serta turut menggrogoti kerajaan Aceh.
Dalam buku tersebut, Snouck Hurgronje (1985:52) menuliskan, ada empat macam jenis obat yang digunakan masyarakat Aceh untuk menyembuhkan penyakit ta’eun.
Pertama, penyakit ta’eun dapat disembuhkan dengan cara minum air tebu yang dicampurkan dengan bubuk kunyit.
Kedua, penderita yang terjangkit bisa diberikan air beras yang dicampurkan dengan gambir. Ketiga, ekstrak pinang tumbuk juga dianggap efektif untuk menyembuhkan pasien yang terjangkit ta’eun. Dan keempat, air jambu biji yang sudah dipanggang lalu diminum.
Keempat jenis obat di atas sebagai ramuan tradisional yang digunakan masyarakat tradisional Aceh untuk menyembuhkan penyakit ta’eun.
Ramuan-ramuan ini dianggap sangat efektif untuk menyembuhkan penyakit epidemi bagi pasien yang terserang ta’eun pada masa itu.
Berkilas dari catatan Snouck Hurgronje, masyarakat dunia saat ini sedang dihadapkan dengan kecemasan dan rasa pilu yang mendalam akibat penyebaran virus corana yang berasal dari kota Wuhan Provinsi Hubei China. Sejak kemuculannya pada akhir 2019, penyakit epidemi ini menyebar begitu cepat keberbagai negara di belahan dunia.
Berdasarkan laporan Worldometer, hingga penulis menuliskan tuliskan ini, setidaknya sudah sekitar 337,570 kasus dari total 192 Negara yang terjangkit dengan angka kematian mencapai 14,655, termasuk Indonesia yang sudah melaporkan sebanyak 524 kasus.
Oleh beberapa negara yang tingkat penyebarannya tinggi, mereka mengambil kebijakan lockdown untuk mengantisipasi agar penyebaran virus ini tidak meluas dan memakan banyak korban.
Virus ini dapat menular kepada siapapun. Penyebaran dan penularannya begitu cepat, baik melalui udara maupun akibat sentuhan dan kontak fisik dengan barang dan penderita yang sudah terjangkit Covid-19.
Selama virus corona menyebar secara masif, berbagai usaha sedang diupayakan oleh masyarakat dunia agar terhindari dari penularan secara lebih luas terhadap manusia yang hidup di bumi. Disamping itu, para ilmuwan di bidang medis sedang berupaya menemukan bermacam obat penangkal bagi penderita yang telah dinyatakan positif terjangkit Covid -19.
Hanya saja, obat penangkal masih sulit ditemukan, hal ini terbukti dengan jumlah kasus yang semakin hari semakin banyak ditemukan dibelahan dunia. Kasus yang pada awalnya hanya terjangkit di kota Wuhan China, kini sudah merambah ke 192 Negara di Dunia, dan wabah ini pun sudah dijadikan sebagai pandemi global.
Dengan demikian, bagi masyarakat dunia khususnya masyarakat Aceh yang belum terjangkit dengan Covid -19, sebaiknya kita berupaya untuk menghindari hal-hal yang dianggap dapat menularkan virus ini kepada diri sendiri dan orang lain. Selain itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengkonsumsi ramuan tradisional, sebagaimana pengalaman masyarakat tradisional Aceh dalam upaya menyembuhkan penyakit epidemi berjenis ta’eun.
Penulis adalah Dosen Ilmu Budaya ISBI Aceh, dan Aktif di Lembaga Seuramoe Budaya
Email: zahrulfadhijohan@gmail.com