Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
“Mana dia yang namanya Hamka?” tanya Sultan Serdang.
“Patok, Tuanku!”
“Duduklah Hamka! Duduklah! Tapi jangan kecil hati jika saya duduk lebih tinggi dan tidur di tempat saya yang sekarang! Ini adalah hak saya sekarang! Ini adalah hak saya!”
Hamka menyadari makna dibalik ucapan Sultan.
“Hamka orang mana?” tanya Sultan beberapa menit kemudian.
“Patik orang Minangkabau, Tuanku!”
“Oh ya! Orang Minangkabau memang terkenal dari dulu-dulu. Mereka berani mengadu untung mencapai maksud yang besar-besar, yang kadang-kadang tidak lantas (sanggup) di angan orang lain.”
Hamka hanya terdiam. Kata-kata itu jelas maknanya. Sangkaan bahwa ia mencari pangkat ambil muka dengan Jepang, tak terbantahkan. Para pembisik Sultan sudah menampakkan sorot-sorot mata tak suka atas kehadiran Hamka di tempat itu. Demikian dituliskan Yusuf Maulana dalam Buya Hamka Ulama Umat Teladan Rakyat, Pro-U Media, 2018. Ketidaksukaan telah mengantar kepada kebencian tak bertepi, walau terhadap saudara seiman. Ketidaksukaan adalah hal yang wajar terjadi, lumrah dimiliki oleh sesiapa saja yang berjalan hidup di dunia ini. Namun ketidaksukaan jangan sampai diperturut hingga jatuh benci. Benci pun jangan diperturut hingga jatuh ke dalam hati, apalagi benci mati.
Berbeda dengan Sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wa salam; Thalhah bin Abdurrahman bin Auf. Berlapang dada jauh dari rasa sesaknya kebencian terhadap perlakuan teman-temannya. Suatu hari istrinya berkata kepadanya : “Aku tidak pernah melihat orang-orang yang sangat pantas untuk dicela selain teman-temanmu.”
Thalhah bertanya : “Kenapa demikian?”
“Aku perhatikan; kalau kamu sedang kaya, mereka mendekat kepadamu. Tapi, bila kamu miskin, semuanya menjauhiku!” jawab istrinya.
“Demi Allah, ini adalah diantara kemuliaan akhlak mereka. Mereka datang kepada kita ketika kondisi kita mampu untuk memuliakan mereka. Dan mereka meninggalkan kita ketika kita tidak mampu memenuhi hak-hak mereka.” jelas Thalhah kepada istrinya.
Imam Al Mawardi menanggapi kisah ini : “Perhatikanlah, bagaimana ia berusaha menakwilkan perangai teman-temannya dengan kemuliaan akhlaknya sehingga kejelekan perbuatan mereka dipandang sebagai kebaikan dan penglhiu mereka yang jelas dianggap sebagai pemenuhan terhadap kewajiban.” (Zulfi Akmal, Ketika kisah menuturkan hikmahnya, Pro-U Media, Yogyakarta, 2014).
Itu semua menunjukkan sikap berlapang dada jauh dari sinis yang bangkit dari buruk sangka memandang penuh kebencian berujung dendam. Allah SWT berfirman : “Dan Kami lenyapkan rasa dendam yang berbeda dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadapan diatas dipan-dipan.” (QS. Al Hijr : 47).
Dendam itu berawal dari sangkaan Berlebih yang berujung pekatnya kebencian. Hanya melihat dari jauh yang tampak oleh bola mata, bukan mata hati. Apalagi mau mendengar mengaminkan berita berbalut bahasa hasutan yang dikemas dengan penuh kebohongan oleh para penjilat yang telah mati mata hatinya.
Memang benar Hamka sangat dekat dan dipercaya oleh Jenderal Tetsuzo Nakasihma, Gubernur Militer Jepang di Sumatera Timur semasa beliau di Medan. Karena kemampuan retorika, ketegasan dan kharisma Hamka, didapuklah Hamka sebagai anggota Dewan Penasehat Agama bahkan disapa “Hamka- San.” Seperti halnya tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di pulau Jawa. Semisal, Soekarno, Bung Hatta dan Ki Hajar Dewantara yang juga memilih jalan menaruh harapan kemerdekaan setelah masuknya Jepang ke Indonesia. Sebuah kedekatan sebagai upaya taktik belaka. Tentu pilihan jalan ini tak lepas dari resiko besar di kemudian hari.
Soekarno pernah berkata kepada Buya Hamka saat keduanya berjumpa di Jakarta : “Seorang pemimpin hendaklah memandang jauh.” ujar Soekarno. “Saya tidak pandai mengeluarkan perkataan yang tidak dari hati saya. Kalau saya membantu Jepang bukanlah semata-mata untuknya tetapi untuk kepentingan rakyat yang saya cintai sendiri. Dengan adanya suatu peperangan rakyat mesti pandai menyesuaikan dirinya dengan perang. Dia mesti semangat perang. Kalau ia tidak pandai menukar semangatnya, dia akan sengsara dan hancur. Hal seperti ini dapat membangkit suatu negara sehingga naik, tetapi dapat pula meruntuhkannya. Saya sudah ambil sikap mengambil pihak kepada Jepang.” Demikian dikutipkan Hamka dalam memoarnya, Kenang-kenangan Hidup jilid III, 1974.
Pilihan beresiko itu tak hanya menuai sangkaan berlebih dari saudara seiman dan se tanah air, bahkan bahaya ancaman dari Jepang sendiri pun tentu mengintai pemilik pilihan beresiko tersebut. Namun jalan kompromi dengan penjajah disebut saudara seiman telah terlanjur dipilih ditapaki, sulit urung mundur tarik diri ke belakang.
Pilihan berkompromi dengan Jepang telah menyisakan banyak “hati yang tersakiti”,bukan hanya beda tafsir patriotisme untuk negeri, tapi menjalar ke “soal Periuk nasi”. Hamka disangka telah banyak jasa kepada jepang, tentu banyak jasa istimewa yang telah diterima dinikmatinya sebagai “ulama aligator”. Tak hanya sangkaan itu datang dari kesultanan yang terasa terusik kuasanya oleh orang biasa dari pendatang, bahkan setingkat orang alim di gelar ulama yang mengelilingi sumber kekuasaan, menyimpan sangka berlebih hanya karena pengaruh keilmuannya dan massa pengikut penyanjungnya direbut oleh seorang yang dianggap biasa saja tingkat keilmuannya.
Dulu, Rasulullah shalallahu alaihi wa salam sudah pernah mengingatkan kita untuk menjauhi persangkaan.
“Jauhilah dirimu dari persangkaan. Sesungguhnya persangkaan itu sedusta-dusta perkataan.” (HR. Bukhari).
Benci itu tak pilih bulu. Dan benci tak kenal strata dan tingkat keilmuan seseorang. Justru mereka yang miliki keluasan dan kedalam ilmu agama pandai memanfaatkan mengandalkan jumlah massa pengikutnya untuk dekat mempengaruhi para penguasa yang takut hilang kuasa. Ketika sangkaannya tak kunjung di tabayyun kepada sumbernya, sangkaan akan berubah nama menjadi sangkaan buruk, terus diperturut hingga dengki menggunung menutup akal menghitamkan hati yang telah di kunci mati oleh dengki.
*Penulis adalah Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Aceh Barat Daya dan Anggota IKAT Aceh.