Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
Harun ibn ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadits yang juga pedagang kain di kota Baghdad bercerita:
Suatu hari, Saat malam beranjak larut, pintu rumahku di ketuk. “Siapa..?”, tanyaku.
“Ahmad”, jawab orang diluar pelan.
“Ahmad yang mana..?” tanyaku makin penasaran.
“Ibn Hanbal”, jawabnya pelan.
Subhanallah, itu guruku..!, kataku dalam hati.
Maka kubuka pintu. Kupersilakan beliau masuk, dan kulihat beliau berjalan berjingkat, seolah tak ingin terdengar langkahnya.
Saat kupersilakan untuk duduk, beliau menjaga agar kursinya tidak berderit mengeluarkan suara.
“Wahai guru, ada urusan yang penting apakah sehingga dirimu mendatangiku selarut ini..?”
“Maafkan aku ya Harun… Aku tahu biasanya engkau masih terjaga meneliti hadits selarut ini, maka aku pun memberanikan diri mendatangimu. Ada hal yang mengusik hatiku sedari siang tadi.”
Aku terkejut. Sejak siang..? “Apakah itu wahai guru?”
“Mmmm begini…” suara Ahmad ibn Hanbal sangat pelan, nyaris berbisik.
“Siang tadi aku lewat disamping majelismu, saat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan murid-muridmu terkena terik sinar mentari saat mencatat hadits-hadits, sementara dirimu bernaung di bawah bayangan pepohonan.
Lain kali, janganlah seperti itu wahai Harun. Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk..!”
Aku tercekat, tak mampu berkata…
Maka beliau berbisik lagi, mohon pamit, melangkah berjingkat dan menutup pintu hati-hati. Masya Allah… Inilah guruku Ahmad ibn Hanbal, begitu mulianya akhlak beliau dalam menyampaikan nasehat.
Beliau bisa saja meluruskanku langsung saat melintasi majelisku. Tapi itu tidak dilakukannya demi menjaga wibawaku dihadapan murid-muridku. Beliau juga rela menunggu hingga larut malam agar tidak ada orang lain yang mengetahui kesalahanku. Bahkan beliau berbicara dengan suara yang sangat pelan dan berjingkat saat berjalan, agar tidak ada anggota keluargaku yang terjaga.
Lagi-lagi demi menjaga wibawaku sebagai imam dan teladan bagi keluargaku.
Kisah teladan itu diabadikan oleh Imam Khatib Al Baghdadi dalam kitabnya, Al-Jâmi’ li Akhlâq Ar-Râqi (1/411). Siapakah beliau teladan umat?Nama lengkap Imam Ahmad adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Beliau adalah seorang ulama hadits terkemuka, baik pada masanya ataupun sesudahnya. Menurut riwayat yang masyhur, beliau dilahirkan di Kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H (780 M), ketika masa pemerintahan Islam dipegang oleh Khalifah Muhammad al Mahdi dari Bani ‘Abbasiyyah ke III.
Begitu mulia adab yang Ahmad ibn Hanbal terapkan dalam menasihati. Akhlaknya begitu terjaga dalam meluruskan khilaf muridnya. Sebenarnya Ahmad ibn Hanbal bisa saja menegur Harun muridnya di depan murid-muridnya, tapi itu tak beliau lakukan demi menjaga wibawa Harun. Beliau sengaja datang malam-malam demi menjaga nasihat yang ia berikan, itu dilakukan agar keluarga Harun tak mengetahui, agar kedudukan Harun sebagai Ayah dan suami dalam keluarganya tetap terjaga sebagai imam dan teladan bagi mereka.
Lalu bagaimana dengan kita? Apakah serta merta mengingatkan teman yang salah di depan khalayak ramai? Menunjuk-nunjuk wajahnya membesar-besarkan suara menyebutkan semua kesalahannya? Ataukah menasihati memalingkan wajah tanpa memandang wajahnya? Ataukah hanya sepintas lalu, sehingga yang menerima nasihat tak merasa kalau sebenarnya ia sedang dinasihati? Teringat perkataan Imam Asy Syafi’i: “Nasehati aku saat sendiri, jangan di saat ramai dan banyak saksi. Sebab nasehat ditengah khalayak, terasa hinaan.”
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam pernah bersabda : “Agama itu nasehat, Kami bertanya, Untuk siapakah itu? Beliau menjawab, Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin dan orang-orang awam dari mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menasihati sesama merupakan tuntunan agama. Namun kesanggupan menutup aib saudara dipadu dengan kecerdasan menasehati agar tak melukai hati adalah kebijaksanaan tiada terkira. Kadang kita fasih bicara, tapi gagap beramal. Kadang kita pandai menasehati tapi tak tepat saat dan cara. Seorang Da’i selalu memperbaiki diri, bukan seorang pencibir tapi menjadi seorang penyabar, bukan seorang pencela tapi menjadi penyapa, bukan seorang pengunjing tapi seorang pendamping, bukan menambah putus asa tapi membawa cahaya. Prasangkanya tak mengalahkan akhlaq, rasa bencinya tak mengalahkan sikap adil. Ia memiliki kebenaran namun tak merasa paling benar, memiliki ilmu namun tak merasa paling tahu. Ia memperbaiki diri agar lebih mudah dinasihati, sebab telinga sendiri lebih jauh dari milik teman yang sedang berbicara.
*Penulis adalah Penghulu Muda KUA Kec. Susoh dan Anggota IKAT serta Penulis Buku Memunguti Cahaya Al-Qadar.