+++
DUA bulan usai wisuda, Ibnu dan Ahmadi mulai menempati kos baru di kawasan Krueng Cut Aceh Besar.
Ibnu menggunakan waktu di pagi hari untuk mengajar di salah satu sekolah swasta di Banda Aceh. Siangnya ia membantu Bang Ilham di bengkel-nya. Sementara malam harinya, ia jualan burger di Warkop Pinggir Kali.
Ibnu mulai menyusun program untuk melanjutkan pendidikan Magister ke Australia. Untuk mencapai target tersebut, ia mulai menabung sedikit demi sedikit.
Ibnu pernah beberapa kali mencoba mengajukan beasiswa ke Pemerintah Aceh. Namun perjuangannya selalu kandas di tengah jalan. Alasannya berbagai macam, mulai dari persyaratan yang ribet hingga waktu pendaftaran yang teramat singkat. Ia sempat putus asa dan akhirnya memilih untuk berangkat dengan jerih payah sendiri. Untuk itu, ia harus menyisihkan uang hasil kerjanya setiap hari.
“Aku yakin pasti bisa,” ujarnya optimis kepada Ahmadi.
Ahmadi sendiri mulai focus menyelesaikan skipsi miliknya. Demikian juga dengan Riska yang menargetkan selesai tahun depan.
Riska mulai rutin mengunjungi Ibnu saat bekerja di Warkop Pinggir Kali. Wanita itu bahkan disediakan tempat yang dekat dengan rak burger milik Ibnu.
Semua pelayan di Warkop tersebut sadar bahwa keduanya memiliki hati yang sama. Inilah yang kemudian dijadikan candaan para pekerja di sana saat mereka istirahat atau melihat Riska datang untuk menemui Ibnu.
“Nu, calon istrimu datang tue.”
“Nu, kau pakai pelet apa hingga bisa menguna-gunai wanita secantik itu.”
Ibnu sendiri menanggapi candaan rekan-rekannya di tempat kerja itu dengan senyuman. Ia sadar bahwa Riska memiliki semua yang diinginkan oleh seorang pria pada wanita. Namun Ibnu juga tak ingin mengikat Riska dengan kalimat cinta.
Ibnu tak ingin berpacaran. Ia hanya ingin melamar gadis itu ketika kelak ia sudah menyelesaikan Magister seperti harapan terakhir orang tuanya. Hal ini juga telah diungkapkannya sebulan lalu saat Riska bertandang ke Pinggir Kali.
Itu mungkin hari bersejarah baginya dan juga Riska. Malam itu, suasana sepi dan hujan baru saja membasahi bumi Kutaradja.
“Riska, aku ingin berterus terang padamu. Jujur, aku memiliki hati padamu. Karena kau berbeda dengan kebanyakan gadis yang aku temui,” ujar Ibnu tiba-tiba.
Riska hanya terdiam. Mungkin itu adalah kata-kata yang dinantikannya selama beberapa tahun terakhir.
“Terus,” kata Riska.
Ibnu gemetar. Ia mengumpulkan kekuatan untuk bisa berbicara terus terang.
“Tapi aku tak ingin mengikatmu dengan alasan cinta. Aku akan melanjutkan program Magister. Kalau bisa ke luar negeri. Usai semua itu, baru aku akan datang ke orangtuamu untuk melamar,” ujar Ibnu.
Riska tersiput malu mendengar kalimat Ibnu.
“Namun jika kau tak sanggup menunggu, aku memberi kebebasan padamu untuk menikah dengan pria lain. Kau juga memiliki hak untuk menentukan jodohmu sendiri jika bertemu dengan yang lebih baik,” kata Ibnu lagi.
Riska sempat terdiam dengan kalimat yang disampaikan oleh Ibnu. Ia telah mengenal lelaki itu selama bertahun-tahun. Dan ia tak keberatan untuk menunggu. Toh, ia masih sangat muda.
“Baiklah sepakat. Biar waktu yang menjawab kebenaran dari kata-katamu dan tekatku untuk menunggu,” kata Riska.
“Kujadikan Bang Ibnu sebagai motivasi untuk lebih baik. Aku juga akan berangkat ke luar negeri. Biarkan cintaku tetap bersemi dan takdir tuhan untuk kita berdua,” ujarnya sambil tersenyum.
[Bersambung]