+++
HARI hari berlalu dengan cepat. Riska mulai jarang bertemu dengan Ibnu. Ini karena ia sedang focus pada skripsi. Mereka hanya berkomunikasi via handphone.
Riska menargetkan bisa selesai tepat waktu. Paling lamban, pertengahan 2018 mendatang, target melanjutkan magister di Australia.
Ibnu akan mengambil masgister social atau pendidikan, dan Riska sendiri menargetkan lanjutan ke magister komunikasi. Salah satu sasarannya adalah University of Sydney yang terletak di Sydney, Australia.
University of Sydney merupakan universitas yang sangat bergengsi di Australia, masuk dalam peringkat top 50 dunia versi Times Higher Education dan peringkat ke 3 Australia. University of Sydney didirikan pada tahun 1850 yang menjadikannya sebagai kampus tertua yang dibangun pertama kali di Australia.
Berlokasi di kota Sydney yang merupakan satu kota yang termasuk top 10 kota paling nyaman untuk dihuni didunia, sydney juga sudah sangat diakui dunia dalam hal kualitas pendidikan.
Selain itu, menurut Ibnu, Sydney merupakan kota yang aman, nyaman, beragam budaya, dan modern.
“Kadang kita perlu melihat Aceh dari luar, Wak. Dengan begitu, kita tahu bagaimana cara mencintai daerah ini dengan segenap hati,” kata Ibnu kepada Ahmadi mengenai alasannya memilih Australia sebagai negara untuk melanjutkan studi.
“Aku perlu meninggalkan negeri ini agar dendam tak merusak hatiku. Saat ini Australia adalah pilihan tepat,” ujarnya lagi.
Ahmadi tak membantah apa yang disampaikan oleh Ibnu. Ia yakin jika pria itu mampu meraih cita-citanya. Ibnu terbiasa dengan tantangan besar dalam menjalani kehidupannya selama ini.
Tapi ada satu persoalan yang menurut Ahmadi bakal sukar diantisipasi oleh Ibnu.
“Tapi Sydney itu kota besar. Biaya hidupnya sangat tinggi,” ujar Ahmadi.
Apa yang disampaikan Ahmadi memang benar adanya. Tingginya biaya hidup, setidaknya berdasarkan data yang dihimpun Ibnu dari internet, membuatnya harus ekstra kerja mencari beasiswa.
Namu di sisi lain, Ibnu juga mulai menabung tiap rupiah yang ia dapatkan agar bisa bersekolah magister di negeri yang berpenduduk asli, suku Aborijin itu.
Ibnu sendiri sudah menabung sejak semester pertama. Ini karena ia sadar bahwa untuk meraih magister di Australia membutuh biaya yang tak murah.
“Suatu saat aku pasti mampu menaklukan Australia. Aku cuma perlu beberapa tahun untuk kembali mengumpulkan uang,” ujar Ibnu.
Jika pun nanti ia gagal ke Sydney, ada beberapa universitas alternative lainnya jika target pertama tak tercapai di sana.
“Pokoknya aku akan ke Australia, tak bisa ke universitas bergengsi, universitas biasa pun jadi. Meski nanti di sana harus bekerja paruh waktu sebagai pemetik buah ceri,” kata Ibnu lagi.
Mendengar hal ini, Ahmadi tertawa lepas. Ia percaya bahwa Ibnu mampu mewujudkan cita-cita meski sangat sulit sekalipun.
Keduanya kemudian terdiam.
“Lantas bagaimana jika Riska tak bisa mengiringi langkahmu dalam menggapai cita-cita ini bersama? Riska tetap di Banda Aceh atau disuruh ayahnya pulang ke Ngawi. Ia kemudian mengenal pria lain dan nikah,” kata Ahmadi tiba-tiba.
Ahmadi mencoba mengukur hati Ibnu, apa yang akan dipilih pria itu jika dihadapkan antara cinta dan cita-cita.
Pertanyaan Ahmadi ini membuat Ibnu terdiam lama. Lelaki itu terdiam hampir 30 menit lamanya. Wajahnya menunduk lama. Ia kemudian meninggalkan Ahmadi tanpa jawaban sepatah katapun.
[Bersambung]