Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
ABDYA- Optimisme adalah salah satu hal yang dibutuhkan manusia dalam menghadapi setiap tantangan dan kesulitan, termasuk menghadapi pandemi wabah virus corona.
Sesulit apa pun kondisinya, tidak ada anjuran bagi manusia untuk menyerah. Dengan optimisme dan keyakinan, situasi bisa terkendali, wabah akan berakhir, dan semua akan kembali pulih seperti sedia kala.
Banyak cara bisa dilakukan untuk membangun optimisme ditengah himpitan kesulitan. Seperti di Eropa pada akhir Maret lalu, serentak seluruh stasiun radio di Eropa menyiarkan lagu “You’ll Never Walk Alone” lagu yang menjadi Anthem dari tim sepakbola terkenal Liverpool.
Ada juga diberbagai negara di Eropa selama virus Covid-19 mewabah, mengizinkan dan bahkan menganjurkan dikumandangkannya adzan di mesjid-mesjid dengan menggunakan pengeras suara. Diantaranya di Jerman dan Belanda sebagaimana dilansir dalam https://www.obsessionnews.com/dampak-covid-19-adzan-di-masjid-masjid-eropa-dibebaskan/.
Optimisme itu tumbuh dari sebuah keyakinan yang kuat akan kemampuan untuk melewati kesulitan yang melilit. Membangun dan menumbuhkan optimisme adalah salah satu solusi yang perlu kita lakukan bersama. Dulu jauh sebelum kita, di dalam Shahih Bukhari dan Muslim dikisahkan dalam sebuah hadits yang panjang sebuah kisah optimisme tiga orang laki-laki yang ditimpa masalah besar.
“Ada tiga orang yang sedang berjalan kaki. Mereka lantas kehujanan, sehingga berteduh di dalam gua yang terdapat pada sebuah gunung. Tiba-tiba, sebuah batu besar meluncur dari atas dan jatuh tepat di mulut gua tersebut. Mereka pun terkurung di dalamnya.
Salah seorang dari mereka kemudian menyampaikan pendapatnya kepada yang lain, ‘Ketahuilah amal-amal baik yang pernah kalian perbuat untuk Allah. Kemudian, berdoalah kepada Allah dengannya (menyebutkan amalan itu). Mudah-mudahan, Allah memberikan kelonggaran dari (musibah) kalian ini.’
Maka salah seorang dari mereka berdoa, ‘Ya Allah, dahulu aku memiliki orang tua yang sudah sangat tua, seorang istri, dan anak-anak yang aku rawat. Ketika sore hari, aku memerah susu. Aku lalu pertama-tama memberikan minum (dengan susu itu) kepada orang tuaku, baru kemudian anak-anakku.
Suatu ketika, aku berpergian jauh (untuk mencari makan bagi hewan ternak peliharaan). Aku baru pulang pada petang hari. Aku dapati dua orang tuaku sudah tidur. Aku lantas memerah susu seperti biasa, kemudian kubawa susu tersebut. Aku berdiri di dekat mereka karena tidak ingin mengejutkan mereka (sehingga mereka terbangun). Aku juga tidak ingin memberikan susu itu kepada anak-anakku sebelum mereka menikmatinya.
Sementara itu, anak-anakku merengek di kedua kakiku. Demikianlah aku dan anak-anakku tetap dalam keadaan seperti itu hingga waktu subuh tiba. Jika Engkau mengetahui aku telah melakukan amalan tersebut hanya demi menemukan wajah-Mu, maka bukalah (mulut gua itu) agar kami dapat keluar dan melihat langit (bebas).’
Allah kemudian membukakan (batu penghalang mulut gua itu) sedikit, sehingga para pria itu dapat melihat dari celah itu langit.
(Berikutnya), yang lain berdoa, ‘Ya Allah, dahulu aku mempunyai seorang sepupu perempuan yang aku sangat cintai, (rasa cinta) seperti halnya kaum laki-laki kepada perempuan. Aku ingin meminta (berhubungan) dengannya, tetapi dia menolak permintaanku sehingga aku dapat memberinya seratus dinar.
Aku pun bekerja keras untuk mengumpulkan uang seratus dinar. Setelah itu, aku kembali kepadanya dengan membawa uang tersebut. Saat aku sudah di antara kedua kakinya, dia berkata, ‘Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan janganlah engkau membuka cincin (melakukan hubungan seksual) kecuali dengan haknya.’
Akhirnya, aku beranjak meninggalkannya. Jika Engkau mengetahui aku telah melakukan amalan tersebut hanya demi menemukan wajah-Mu, maka bukalah (mulut gua itu) untuk kami.’ Allah kemudian membukakan sedikit (batu penghalang mulut gua).
(Terakhir) yang lainnya berkata, ‘Ya Allah, dahulu aku pernah mempekerjakan seseorang dengan upah satu firaq beras. Setelah selesai, dia berkata, ‘Berikan hakku padaku.’ Aku lantas menawarkan upah firaq-nya, tetapi dia tidak menghendakinya. Aku kemudian menanamnya, sehingga (dari) hasilnya aku dapat membeli sapi beserta penggembalanya.
Lalu, dia datang kepadaku dan berkata, ‘Takutlah kepada Allah dan jangan kamu berbuat zalim kepadaku.’ Aku berkata, ‘Pergilah kepada sapi-sapi itu bersama penggembalanya, silakan ambil seluruhnya.’ Dia berkata, ‘Takutlah kepada Allah, jangan kamu menjadikanku olok-olok.’
Aku katakan, ‘Aku tidak sedang memperolokmu, silakan kamu ambil sapi-sapi itu beserta dengan penggembalanya.’ Dia pun mau mengambil semuanya dan pergi. Jika Engkau mengetahui aku telah melakukan amalan tersebut hanya demi menemukan wajah-Mu, maka bukalah (mulut gua itu) untuk kami.’ Allah kemudian membukakan sisanya (batu penghalang mulut gua).”
Sikap optimis dari ketiga orang laki-laki tersebut berangkat dari sebuah pemikiran yang jernih bukan kegalauan hatinya. Karen saat hati galau maka pikiran akan kacau tak menentu. Jalan keluar yang dibarap akan berakhir buntu. Optimisme terbangun dari sakinahnya hati yang melapangkan akal untuk berfikir mencari solusi.
Lihatlah dalam rangkaian dialog ketiga laki-laki yang terkurung di dalam gua, tak terdengar dari mulut mereka kalimat kasar menggerutu, mengganngap jatuh sial, menyalahkan dengan kata-kata buruk. Tapi yang ada hanyalah bait-bait do’a yang dipanjatkan dengan penuh pengharapan berbalut keikhlasan semata kepada-Nya. Itulah tanda optimis dari ketiga laki-laki penghuni gua. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada perasaan buruk dan kesialan, dan yang lebih baik dari itu adalah rasa optimistis.” Maka ditanyakanlah kepada beliau, “Apa yang dimaksud dengan rasa optimistis?” Beliau bersabda, “Yaitu kalimat baik yang sering didengar oleh salah seorang dari kalian.” (HR. Ahmad).
Optimistis adalah ajaran ilahi. Sumber dan asal usulnya adalah berbaik sangka kepada Allah, kepada takdir dan ketentuan-Nya. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Baru Syarah Shahih Bukhari berkata, “Sesungguhnya Rasulullah menyukai optimisme karena pesimisme adalah buruk sangka kepada Allah dan optimisme adalah berbaik sangka kepada-Nya.”
Ketika seseorang berada dalam kelapangan dan kemudahan, diberi kemewahan dan kesenangan, sering ia mengatakan bahwa dirinya disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang. Akan tetapi, apabila seseorang berada dalam kesulitan, tertimpa musibah dan wabah, disempitkan rizki dan dikurangi nikmatnya, tidak jarang seseorang mengatakan, Allah tidak sayang dan bahkan menghinakannya. Maka, marilah kita menyikapi musibah berupa wabah Covid-19 yang terjadi di tengah-tengah kita ini dengan sikap ridha dan prasangka baik kepada Allah. Sikap ridha kepada takdir Allah akan melahirkan syukur dan tawakkal. Sementara berprasangka baik kepada Allah akan membuat kita semua optimis dalam menjalani kehidupan kita selanjutnya. Ridha dan optimis yang akan menguatkan diri, keluarga dan bangsa bangkit dari himpitan kesulitan dan kesusahan sebagaimana tiga laki-laki yang terkurung di dalam gua.
Pat ujeuen nyang han pirang, pat prang nyang han reuda. Sebuah hadih maja yang bermakna di mana hujan yang tak reda, di mana peperangan yang tak usai. Untaian kalimat pembangun optimis dalam kehidupan.
Yakinlah bahwa wabah Covid-19 ini akan segera berakhir, kesulitan akan selalu dibarengi dengan banyak kemudahan dan setiap penderitaan yang kita rasakan insya Allah akan menjadi penggugur dosa-dosa kita. Semoga kelak kita ketika kita menghadap-Nya di Yaumil Qiyamah, Allah limpahkan ampunan dan kasih sayang-Nya kepada kita.
*Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Aceh Barat Daya dan Penulis Buku Mahligai Terindah di Rumah Nan Berkah.