IBNU akhirnya balik kiri dan pulang ke kos di Kahju. Hari ini, ia memutuskan untuk tak berjualan di Warkop Pinggir Kali.
Jantungnya berdetak kencang. Ia benar-benar tak menyangka jika Riska tega mengkhianati dirinya. Ibnu gelisah. Ia berulang kali menyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya tadi hanya halusinasi. Hanya ketakutannya yang berlebihan dan itu tidak benar adanya.
Ibnu mencoba tidur. Namun matanya tak juga bisa terpejam. Momen Riska memeluk pria berpakaian loreng terus berulang di matanya.
Ada trauma yang mendalam setiap kali ini melihat baju loreng. Kisah kelam di masa lalu kembali melintas di-ingatannya. Suara letusan senjata bergema seolah nyata. Darah yang mengalir di bajunya saat Budi roboh di depan mata.
Penculikan paksa abangnya Raman. Mayat pamannya yang ditarik dalam karung di sungai Arakundo. Rumahnya yang tinggal puing. Tangisan sang ibu yang memeluk jasad ayahnya. Suara jeritan warga seolah melintas satu persatu di ingatannya.
Ibnu mencoba menutup telinga dan mata. Namun bayangan itu terus berulang satu persatu.
Matanya tiba-tiba berkunang-kunang. Ia kemudian jatuh tak sadarkan diri.
Saat terbangun, ia sudah berada di kasur. Ada Ahmadi yang duduk di kursi sisi kiri ranjang. Sosok itu sudah bersaling baju seperti biasa. Wajahnya tiba-tiba ceria saat melihatnya terbangun.
“Untunglah Nu, kamu sudah terbangun. Aku panic tadi saat melihatmu tertidur di atas lantai. Ternyata kamu pingsan,” kata Ahmadi.
“Kau pingsan hampir 6 jam,” ujar Ahmadi lagi.
Ibnu memandang keluar jendela, ternyata hari sudah gelap. Suasana tenang dan tak terdengar lagi suara kendaraan yang biasanya lalu lalang di depan kos mereka. Jam sudah menunjukan pukul 00.43 WIB.
Ibnu tertunduk lesu. Ingatannya tentang baju loreng kembali terlintas di kepalanya.
“Riska beberapa kali menelponmu dari tadi. Apa yang sebenarnya terjadi,” tanya Ahmadi kemudian. Ahmadi yakin bahwa apa yang sedang terjadi dengan Ibnu ada hubungannya dengan Riska.
Ibnu melihat handphone miliknya. Ada 13 kali panggilan masuk dari Riska yang terabaikan selama dirinya tak sadarkan diri.
“Nu, apa sebenarnya yang terjadi. Kalau kau menganggapku sahabatmu, tolong ceritakan,” kata Ahmadi lagi.
Ibnu terdiam. Ia tidak bisa berkata-kata. Ahmadi kemudian menyuguhkannya segelas air putih. Ibnu meneguknya sampai habis.
“Aku melihat Riska memeluk pria berbaju loreng,” ujar Ibnu kemudian.
Ahmadi terdiam. Yang dikhawatirkannya akhirnya terjadi. Ahmadi yakin jika pria berbaju loreng yang dilihat oleh Ibnu adalah ayah Riska sendiri. Gadis itu tak mungkin mengkhianati Ibnu soal perasaan. Riska bahkan rela dan memohon kepada ayahnya untuk tidak hadir ke acara wisudanya agar tak bertemu dengan Ibnu.
Namun scenario tuhan ternyata berjalan di luar kehendak manusia.
“Aku sudah tahu Nu. Tapi ia tidak pernah mengkhianatimu,” ujar Ahmadi tiba-tiba.
Kening Ibnu berkerut. Ia seolah membutuhkan penjelasan tambahan dari Ahmadi.
“Itu ayahnya. Ayah Riska adalah seorang tentara. Sama seperti Raina,” ujar Ahmadi lagi. Penjelasan Ahmadi seolah sambaran petir di telingan Ibnu. Ia terkejut dan jantungnya kembali berdetak kencang.
[Bersambung]