Jakarta – 15 Februari 2020. Sebuah pesta karnaval digelar di Gangelt, sebuah kota di Distrik Heinsberg, di Jerman sebelah barat. Ratusan orang berhimpun dalam kostum dan wig yang dibungkus dalam tradisi Rhineland. Mereka bercengkrama ditemani minuman bir dan anggur yang mengalir tanpa henti serta live music sepanjang empat jam puncak acara.
Komite karnaval terdiri dari 11 pria mengarahkan acara itu tanpa menyinggung sama sekali tentang sebuah wabah penyakit, COVID-19, yang telah tiba di tanah Jerman dua pekan sebelum pesta itu dilaksanakan. Tak ada yang menyangka, wabah itu ternyata mencengkeram pesta tersebut. Sebanyak tujuh orang terkonfirmasi terinfeksi virus corona COVID-19 sepulang dari pesta karnaval tersebut.
Seorang pria 47 tahun yang tampil sebagai penari balet di pesta karnaval Gangelt juga menjadi orang pertama di Jerman yang dirawat intensif karena COVID-19. Kini, Gangelt, rumah untuk 42 ribu orang, memiliki total 1.442 kasus infeksi dengan 43 angka kematian.
Angka itu terbesar di antara distrik administratif lainnya di Jerman, dan karenanya media nasional di negeri itu menamainya ‘Wuhan-nya Jerman’. Sejumlah kalangan menyalahkan penduduk dari kota itu sebagai penyebab COVID-19 kini tak terkendali di Jerman.
Seratus hari setelah Pemerintah Cina mengumumkan secara resmi penemuan virus misterius penyebab pneumonia, semakin jelas dinamika di balik penularan cepat virus itu hingga menciptakan pandemi saat ini. Penularannya bergantung kepada ‘efek kluster-kluster’ seperti kasus karnaval Gangelt.
Bukan hanya di Jerman–negara yang kini menyumbang jumlah kasus keempat terbesar di dunia menurut data Johns Hopkins University dengan 113 ribu kasus infeksi, setiap negara yang sedang dijerat wabah yang sama melaporkan kisah yang sama. Penularan COVID-19 disertai kisah perkumpulan-perkumpulan sosial, budaya, agama yang melibatkan banyak orang yang disertai dengan bergandengan tangan, bahkan berciuman dan berbagi gelas yang sama.
“Satu pola yang kami lihat di berbagai lokasi di dunia adalah di manapun ada acara menyanyi dan menari, penularan virus akan terjadi lebih luas,” kata Hendrik Streeck, profesor virologi di University of Bonn, Jerman.
Dia dan timnya telah meneliti kluster kasus COVID-19 di Heinsberg. Menurutnya, kebanyakan kasus infeksi virus corona tidak terjadi di supermarket atau restoran. Sebaliknya, di Heinsberg, timnya menemukan bukti virus ditularkan lewat permukaan pegangan pintu, smartphone, dan obyek lainnya.
Pola penularan serupa diduga terjadi pula di sebuah resor ski Ischgl di Austria, klub malam di Berlin, dan pertandingan bola di Stadion Bergamo, Italia. “Acara-acara massa adalah peluang sempurna untuk virus,” kata Niki Popper, matematikawan di Technical University, Wina.
Popper dan timnya mengembangkan simulasi yang dapat membantu pemerintahan setempat memprediksi dengan lebih akurat bagaimana pandemik berkembang. Dia menghitung apa yang disebutnya, poin awal dari jaringan epidemik lokal.
“Jika Anda memiliki 100 atau 200 orang berhimpun sekian lama dalam sebuah ruangan bersama seseorang yang membawa virus corona (carrier), maka misalnya 20 orang pulang dengan infeksi virus itu dan setelah masa inkubasi virus masing-masing menularkannya lagi ke rekan kerja dan keluarga, anggaplah 10 orang, maka dalam beberapa hari, infeksi virus itu bisa berlipat 200 kali hanya dengan satu insiden—dan begitu seterusnya.”