BERKAITAN dengan wabah Virus Corona yang telah memakan banyak korban jiwa diberbagai belahan dunia, dan menjadi topik terhangat yang mendadak mengerikan bagi masyarakat dunia, dimulai dari Wuhan Cina, hingga sampai ke negara kita saat ini.
Bahkan virus tersebut sudah merenggut banyak nyawa ratusan orang di berbagai negara dalam waktu beberapa bulan ini. Berbagai cara dan upaya dilakukan untuk menghentikan virus tersebut agar tidak terus-menerus memakan korban, dan tidak tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan cara yang berbeda-beda.
Di Aceh, Virus wabah tersebut dikenal dengan nama Ta’eun, Ta’eun yuang berasal dari kata Bahasa Arab yaitu Tha’un. Jenis penyakit Ta’eunpun bukan satu macam, tapi ada beberapa macam, diantaranya: ta’eun berupa penyakit wabah yang bisa menular kesemua orang. Dalam Buku C. Snock Hurgronje “Aceh Rakyat dan adat Istiadatnya”, Jilid II (1997:38), disebutkan bahwa penyakit Ta’eun merupakan penyakit Koléra, wabah atau epidemi, yang dua gejala utamanya adalah muntah ciret (muntah-berak). Jaman dulu sebagaimana wilayah lainnya di seluruh Nusantara, Aceh juga terkena wabah ta’eun, penyakit ini pada jaman dulu juga pernah menewaskan banyak orang, terutama di daerah dataran rendah yang jarang memiliki sumber air bersih.
Ketaatan masyarakat Aceh kepada agama, tampak dalam pola tingkah laku masyarakat Aceh, karena itulah masyarakat Aceh melakukan ritual-ritual untuk mengatasinya dengan cara-cara yang berbeda. Berdasarkan tradisi jaman dulu untuk menhilangkan ta’eun tersebut masyarakat Aceh menyelenggarakan ritual tulak bala, di meunasah-menasah ataupun di gerbang kampung (babah ret), dan ritual-ritual tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan tata cara keagamaan.
Pada tulisan ini penulis mencoba mengungkapkan do’a-do’a yang dibacakan oleh masyarakat Aceh berdasarkan pada ritual tolak bala wabah ta’eun tersebut dengan merujuk pada naskah Aceh. Naskah merupakan tulisan masa lampau yang biasanya disebut juga dengan “manuskrip” atau “kodeks” yang berarti tulisan tangan. Naskah mempunyai karakteristik dan tercipta dari latar belakang sosial budaya yang sekarang tidak ada lagi, bahkan tidak sama dengan dengan latar sosial masyarakat pembaca masa kini. Mengingat naskah merupakan karya sastra masa lampau yang berisi buah pikiran, perasaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Di antara nilai-nilai tersebut, ada yang masih relevan dalam kehidupan masa kini dan untuk masa mendatang. Oleh karena itu, studi terhadap karya-karya sastra masa lampau diperlukan untuk mengungkap segala informasi mengenai berbagai segi kehidupan (Baroroh-Baried, dkk, 1994:1). Naskah juga disebut bisa dikatakan sebagai salah satu historiografi tradisional yang memiliki nilai sejarah yang berbeda-beda karena bercampur dengan unsur mite (myth) dalam sejarah.
Dalam beberapa naskah Aceh disebutkan tentang beberapa wabah Ta’eun, diantaranya dalam naskah Mujarabah koleksi Museum Aceh dan Naskah Karangan Kucik Lam Ujoeng Muhammad Hasan. Dalam naskah koleksi Museum Aceh yaitu membahas tentang do’a tolak bala wabah ta’eun ini, yang berbunyi sebagai berikut: “Bismillah… Bismillahi sya’nil ‘adhiimil burhaanusy syaddis sulthaani kullu yaumin huwa di sya’nin maasya Allahu, kaana wamaa lam ya’lam yaa sya’lam yaqul laa haula walaa quwwata illah billah. Allahumma inni a’uzubika minath tha’uni waththa’uuni wamautil fuhyiati min humumil wabaai wamin juhdil balaai wasuil qadhaai wadarkisy syiqaai wasyamatatil a’daai yaa zaljalaali walikraam, artinya: Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Dengan nama Allah yang Maha hebat/kuasa, telah didapatkan bukti yang kuat oleh sultan, bahwasaya beliau setiap hari merasakan/melihat bukti itu kebesaran Allah, bahwasanya dia (sultan) dan siapapun yang belum mengetahui, mengapa tidak (yaa sya’ lam) mengucapkan saja tidak ada daya dan kekuatan kecuali Allah yang Maha Hebat/kuasa/pemiliki kekuatan. Ya Allah jauhkanlah aku dari penyakit tha’un dan wabah sejenis tha’un dan kematian karena wabah tersebut serta ketakutan/kepanikan karena wabah itu, dan jauhkan aku dari kesulitan dri wabah tersebut, dan kesulitan urusan/akibat penyakit, kesengsaraan dan jeritan yang terjadi wahai Maha Pemilik kemuliaan dan Maha pemilik Kehormatan (Naskah Mujarabah, hal.73). Dalam naskah tersebut hanya disebut do’anya saja secara singkat, tapi dari do’anya kita bisa melihat bahwa ulama yang mengarang kitab ini untuk diamalkan agar dijauhkan dari bala wabah Ta’eun peunyakit yang berjangkit dan sangat berbahaya, sebagaimana wabah virus corona yang sedang melanda keluarga saat ini.
Naskah ini ditulis oleh salah seorang Teungku di Gampoeng Lam Ujoeng (Aceh Besar), dengan aksara jawi berbahasa Aceh dan Arab, tidak diketahui angka tahun pada naskah ini, tetapi bisa diperkirakan kalau naskah ini sekitar abad ke-20an. Adapun do’a dan pujian dari pembahasan naskah tersebut diantaranya, yang Pertama: membaca “Lam yahtahlim qaththuthah muthlaqal abada, Wama tatsa abaaz lan fi mada zamani, Minhud dawaabu falam tahrub wama wafa’at , Zubabatun abadan fi jismihil hasani, Bihalfihi ka amamin ru’yatin tsabatat , Wala yura atsrubau li minhufi ‘alanin, Waqalbuhu lam yanam wal’ainu qarna’asat, Wala yura dhilluhu fil syamsi zu fathani , Kafahu qad ‘alata qauman iza jalasu, Indal wiladatisif ya zan bimukhtatani, Hazil hashaishu fahfadhha takun amina, Min syarrinari wasuraafi wamin mihani, Du’a ilallahi fal mustamsikuna bihi, Mustamsikunabihabli ‘ghaira manfashimu. Pujian ini memang sudah tidak asing untuk di dengarkan, semasa kanak-kanak dulu hampir setiap hari dibacakan, dengan tujuan untuk menyanjung baginda rasulullah SAW.
Kemudian kedua baca pujian kepada sang pencipta yaitu: Allah SWT “Ya lathifu lam tazal ulthuf bina fima nazal, Innaka lathifulam tazal ulthuf bina wal muslimin, Subhanaman ‘aza wajal wabari i minal wajal, Wa qadha likullin bil ajali saira khalqi ajma’in, nasaluka raf’al bala bi sirri thahal mujtaba, wal ali arbabil hiha washahbihil majahidin, attabi’inal asfiyai wal’abidina auliya, wazzahidinal asfiya almukhlishinal mukhbitina, allahu man madhii waghabir kalsyaikhi ‘abdil qadir, man hussha bissarair minal ‘ubadi wasshalihin, tsummal faqihu sayyduna wal ‘aidu russi fakhruna, wasshairil aslafina naslin hasanu wal husaini, wakulla man ahlir rasyadi al musrsyidina lil ‘ibad, fi kulli qaryatin wal bilad musafiri na auqathini, ‘ajil biraf’ima nazal innaka lathifu lam tazal, ya latifu lamtazal ulthuf bina wal muslimin, bikhamsatil asfil biha kharrul wabail khathimah, al musthafa ‘alil murtadha wal banaihima wafathimah, amin ya maulana amin ajibna min shautid da’in, kamustajabal murslina muhamamdan sayyidal jamil, hayyun shamadun baqin walahu kanafun waqin.
Ketiga : baca “Ya hayyu ya qayyum lailaha illa anta 3x, kemudian dilanjut dengan lailahailla anta subhanaka inni kuntu minadhdhalilimin. Keempat: Baca “waqulja al haqqu wazahaqal bathil innal bathilaka na zahuqa 3x. Kelima: “ ‘asa rabbukum an yuhlika ‘aduwwakum wa yastkhlifakum fil ardhi fayandhuru kaifa ta’malun 3x. Keenam: “Falamma ja a sakharatu qala lahum musa Al qauma antum mulqu na, falamma alqa qala musa ma ji’tum bihis sihru innallaha sayubthiluhu innallah la yuslihu ‘amalan mufsidina. Ketujuh: Baru masuk ke bacaan yang dibacakan apabila tertimpa musibah Ta’eun, yaitu “Salaamun qaulan mirrabbir rahim (Q.S.Yasin: 58), sebanyak 28 kali tiap hari. Di baca setiap hari sebanyak tersebut di atas. Pada syair yang dibawakan dikampung-kampung sekarang ditambahkan dengan “dengon beureukat Quran lhee ploh, beneupeusampoh ta’eun ngon wabah, artinya dengan berkat Alquran 30 juz, semoga dihapuskan segala penyakit Ta’eun dan wabah lainnya ”
Kesembilan: do’a agar tenang dan terang hati yaitu “rabbisysrahli shadri wa yassirli amri, doa ini untuk menenangkaan hati, agar tidak panik ketika menghadapi wabah tersebut. Seraya terus berdo’a dan tetap berusaha mengatasinya dengan sebaik mungkin, sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). Hadits tersebut merupakan salah satu usaha yang harus dilakukan ketika wabah muncul, yaitu usaha untuk tidak kemana, agar tidak menular dan tidak tertular penyakit tersebut. Oleh orang zaman sekarang disebut dengan lockdown dan sosial distancing, sebagai upaya pencegahan penyebaran. Dengan doa tersebut, kita sebagai orang beriman harus berbesar hati bahwa Allah SWT dengan berbagai ujian yang diberikan-Nya, bukan berarti kita membenci Allah. Tapi dengan virus corona tersebut kita harus yakin bahwa Allah memiliki cara agar kita tetap dekat dengan Allah.
Hal tersebut juga dibahas dalam Naskah Kitab Pustaha Hang tuwah alih aksara T.A Sakti (2020:50), “Apabila masuk suatu negeri, padahal takut akan wabahnya: hendaklah makan bawang merah negeri itu!. Makan Bawang disini sebagai penangkal juga sebagai antibodi. Dalam Tajul Kitab Tajul Muluk, halaman 120. Cetakan Qahirah-Mesir, tahun 1938 M, “ ….. ( dan Bashal ), yaitu bawang merah. Khasiatnya hangat pada derajat yang ketiga. Faedahnya menghancurkan Balgham (lendir dalam pembuluh darah-TA) dan segala angin. Lagi menghancurkan makanan dan memberi manfaat dari pada penyakit salah air dan menghilangkan salesma. Jika diambilkan airnya dicampurkan dengan air madu, maka dipercelak pada mata; niscaya menerangkan mata. Tetapi jika sentiasa memakan dia mengurangkan akal. Lagi banyak faedahnya seperti sabda Nabi Saw ( iza dakhaltum baldatan fakhiftum wabaaha fa’alaikum bibashlihaa). Artinya: apabila kamu masuk kepada suatu negeri, maka kamu takut akan wabahnya(tha’un); maka hendaklah kamu makan bawang merah negeri itu ( dan tsum ) yaitu bawang putih.
Kemudian kesebelas : “baca shalawat nabi. “shallallahu wa sallama ‘alan nabi sayyidina, muhammadin wa alihi wa shahbihi ajma’ina, Rahmad Allah yang sejahtera ateuh nabi Panghulee kita, Muhammad dan sekeluarga dan lom sahbat semua serta….dst.
Syair dan do’a dalam manuskrip tersebut dibaca di meunasah-menasah setiap gampoeng selama tujuh malam, kemudian di malam terakhir dibaca sambil mengadakan arak-arakan atau berjalan di gerbang kampung, setelah selesai mengumandangkan bang atau adzan, untuk melaukan shalat Isya secara berjama’ah (C.Snock.1997:38). Kemudian selama viralnya virus corona, syair pujian dan do’a-doa itu dilakukan lagi oleh masyarakat untuk mengatasi dan meminta agar masalah virus corona yang terjadi saat ini dihilangkan oleh Allah SWT.
Masyarakat Aceh sekarang melakukan ritual tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Aceh pada zaman dulu. Aceh yang kental dengan Agama dan Adat Istiadatnya, sangat meyakini ritual-ritual tersebut bisa mengatasi setiap bala dan wabah tha’eun yang datang dalam masyarakat. Doa’ dan syair tersebut dibacakan dengan suara merdu dan indah yang dipimpin oleh salah seorang teungku atau Teungku Imam Gampoeng, kemudian disahut atau diikuti oleh para jama’ah secara bersama-sama oleh kaum laki-laki tua dan muda. Ritual itu dilakukan, karena masyarakat Aceh percaya setiap bala ta’eun yang diberikan pasti akan dihilangkan kembali oleh Allah SWT. Oleh karena itu kejadian-kejadian tersebut digambarkan dalam manuskrip untuk dijadikan pelajaran bagi setiap generasi penerus kelak, dan menjadi solusi bagi setiap latar belakang masalah yang terjadi agar berlandaskan kepada islam dan keimanan.
Kesimpulan dari tulisan ini sebagai wujud ketaatan dan keimanan kita selalu mengingat Allah, juga untuk menasehati dan tetap berzikir serta berdo’a sambil berusaha untuk mengatasi setiap wabah Ta’eun tersebut, mungkin sebelumnya kita lalai, lupa, iri dengki dan lain-lain, maka kita harus berpikir positif kepada Allah. Ritual tolak bala dilakukan masyarakat aceh tersebut merupakan usaha preventif atau penawar bencana yang mungkin menimpa seseorang atau masyarakat. Ritual tersebut untuk membina ketertiban dan kesejahteraan perorangan maupun masyarakat yang bersifat pengurangan dan penyembuhan terhadap bencana yang menimpa.
Penulis adalah Istiqamatunnisak MA, peneliti naskah kuno dan pengajar di UIN Ar-Raniry