Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
Kisah ini disebutkan dalam sirah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Azis (Juz 1, hlm 23). Yaitu kisah Amirul-Mukminin ‘Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu dengan seorang wanita. Tatkala Khalifah ‘Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu memegang tampuk pemerintahan, beliau melarang mencampur susu dengan air.
Awal kisah, pada suatu malam Khalifah ‘Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu pergi ke daerah pinggiran kota Madinah. Untuk istirahat sejenak, bersandarlah beliau di tembok salah satu rumah. Terdengarlah oleh beliau suara seorang perempuan yang memerintahkan anak perempuannya untuk mencampur susu dengan air. Tetapi anak perempuan yang diperintahkan tersebut menolak dan berkata: “Bagaimana aku hendak mencampurkannya, sedangkan Khalifah ‘Umar melarangnya?”
Mendengar jawaban anak perempuannya, maka sang ibu menimpalinya: “Umar tidak akan mengetahui.”
Mendengar ucapan tersebut, maka anaknya menjawab lagi: “Kalaupun ‘Umar tidak mengetahui, tetapi Rabb-nya pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia telah melarangnya.”
Kata-kata anak wanita tersebut telah menghunjam ke dalam hati ‘Umar. Sehingga pada pagi harinya, anaknya yang bernama ‘Ashim, beliau panggil untuk pergi ke rumah wanita tersebut. Diceritakanlah ciri-ciri anak tersebut dan tempat tinggalnya, dan beliau berkata: “Pergilah, wahai anakku dan nikahilah anak tersebut,” maka menikahlah ‘Ashim dengan wanita tersebut, dan lahirlah seorang anak perempuan, yang darinya kelak akan lahir Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.
Penggalan kisah tersebut tentu sarat dengan makna. Sebuah pertemuan tak disangka yang mengantarkan kepada pertemuan yang mulia. Pertemuan Kemuliaan yang didasari oleh sebuah akhlak mulia. Yaitu ihsan yang lahir dari tingginya kekuatan iman. Itulah muraqabatullah; yakin selalu dalam pengawasan Allah SWT.
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam dalam hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya beliau bersabda : “Ihsan ialah apabila engkau beribadah kepada Allâh seakan-akan engkau melihatNya. Maka apabila engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allâh melihatmu.(HR. Al-Bukhâri dan Muslim).
Merasa diawasi oleh Allâh Azza wa Jalla , atau disebut murâqabah, artinya apabila seorang manusia memahami dan meyakini bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala selalu mengawasi segala gerak lahir dan batinnya. Prilaku seorang hamba yang senantiasa memahami dan meyakini dirinya selalu diawasi inilah yang disebut murâqabah. Murâqabah ini merupakan hasil dari pengetahuan seseorang yang dengannya dia meyakini bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi, melihat, mendengar dan mengetahui semua sepak terjangnya setiap saat, setiap tarikan nafas dan setiap kejapan mata. (Madârij as-Sâlikîn, Ibnu al-Qayyim, taqdîm : Muhammad Abdur Rahmân al-Mura’syili, Dâr Ihyâˈ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut, cet. II, tanpa tahun, II/49).
Muraqabatullah tak hanya yakin diawasi dilihat secara gerak fisik tubuh saja, tapi gerak hati pun takkan luput dari pengawasan-Nya. Atau pengawasan luar dalam bukan hanya berlapis. Ambil saja contoh seorang ASN; katakanlah di salah satu Kementerian, yang setiap harinya menyampaikan laporan kinerja hariannya lewat Lembaran capaian kinerja harian atau disingkat LCKH dan setiap akhir tahun juga membuat laporan kinerja tahunannya yang disebut SKP yang ditanda tangani oleh pimpinan atau atasan langsungnya. Begitulah seterusnya berjenjang bertingkat menurut jalur birokrasi setempat. Masing-masing ASN diawasi kenerjanya, bukan hanya yang ASN tak ber-eselon saja diawasi malah juga ASN yang ber-eselon lebih berat diawasi, sesuai beban kerja dan tupoksinya.intinya semuanya diawasi. Sama dengan di rumah, seorang anak akan selalu diawasi oleh ibu bapaknya serta keluarganya dan begitu pula sebaliknya.
Seiring dengan penyebaran virus Covid-19 yang telah banyak meresahkan hampir seluruh penduduk di dunia. Munculnya virus Covid-19 itu juga telah memperkenalkan kepada kita beberapa istilah kesehatan yang sebelumnya asing di telinga. Ada istilah ODP atau orang dalam pemantauan, PDP atau Pasien dalam pengawasan, dan OTG atau orang tanpa gejala. Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Achmad Yurianto sebagaimana dirilis indozone.id menyebutkan; “ODP adalah orang yang sempat bepergian ke negara atau daerah yang merupakan pusat penyebaran virus Corona. Dan orang yang pernah kontak langsung dengan orang atau Pasien positif Corona juga dikatagorikan ODP.
Begitulah penjelasan tentang ODP dan ketiga istilah tersebut sebagaimana telah tercantum dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 Kementerian Kesehatan RI. Pencantuman istilah ODP pada seseorang saat ini sangatlah mengkhawatirkan banyak orang. Kenapa tidak, orang yang dinyatakan secara kesehatan masuk dalam kategori ODP oleh pihak resmi dari pemerintah, maka secara keseharian ia harus menjalani masa karantina selama 14 hari untuk memantau dan mengevaluasi kondisi kesehatan lebih lanjut. Ingat! Yang hanya berhak menyematkan status ODP pada seseorang adalah bukan sembarang dan semua pihak sesuka hatinya. Tapi instansi resmi yang telah ditunjuk oleh Pemerintah. Gunanya supaya tidak ada yang dirugikan serta tidak menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat.
Dalam Al Qur’an Allah SWT telah mengingatkan kakan pemantauan dan pengawasan yang melekat terhadap kita semuanya : “Dan Allâh Maha mengawasi segala sesuatu.” [QS. Al-Ahzâb :52].
Sungguh, jika kita mau memetik hikmah dari kondisi hari ini, akan banyak kita dapati pelajaran berharga. ODP atau orang dalam pemantauan saat ini yang diawasi hanya oleh instansi tertentu yang telah ditugaskan pemerintah dalam rentan waktu yang sudah ditetapkan dibatasi hanya 14 hari saja, yang hanya dibatasi gerak sosialnya saja; tak bertemu dan tak berkumpul dengan orang untuk sementara waktu saja. Namun ketahuilah, bahwa pemantauan dan pengawasan sesungguhnya adalah pemantauan dan oleh Allah SWT. Sesungguhnya semua kita adalah orang yang berstatus ODP atau orang dalam pemantauan dan pengawasan. Bukan hanya 14 hari, bahkan lebih dari itu; seumur hidup. Oleh siapa? Bukan manusia, tapi oleh Yang Maha Menguasai dan Maha Memiliki, yaitu Allah Ta’ala. Oleh karena itu, mari kita selalu berbuat Ihsan; yakin akan pengawasan-Nya.
*Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Abdya dan Penulis Buku Memunguti Cahaya Al Qadar.