TEUNGKU Fiah dan Mustafa saling pandang. Mereka akhirnya tahu kenapa tentara republic akhirnya masuk dayah.
“Ada cuak ternyata teungku,” bisik Mustafa ke telinga Teungku Fiah. Sementara Teungku Fiah mengangguk berulangkali.
Dayah yang mereka tempati saat ini memang pro terhadap perjuangan tentara nanggroe. Namun selama ini tetap beraktivitas seperti biasa. Baru kali ini digerebek seperti sekarang.
Teungku Fiah berharap suara senjata tadi hanya peringatan dan tembakan ke atas oleh tentara republic. Teungku Fiah tak ingin ada korban karena para teungku-teungku itu menjaga mereka.
“Tum, tum, tum…..”
Suara itu kembali terdengar. Kemudian disusul dengan suara jeritan orang-orang di luar kamar.
“Sudah, sudah. Jangan ada tembakan lagi.”
Seseorang terdengar berbicara setengah berteriak. Suara itu terdengar jelas hingga ke dalam kamar yang ditempati Teungku Fiah dan Mustafa.
“Bawa mereka. Ini peringatan bagi siapa saja yang mencoba melindungi GAM. Semua akan berakhir seperti ini.”
Mendengar kalimat itu, Teungku Fiah menitihkan air mata. Demikian juga dengan Mustafa.
“Jangan pak. Biarkan kami kubur mereka di sini. Mereka tak bersalah pak.” Suara balasan dari luar kembali terdengar. Teungku Fiah yakin jika yang bersuara adalah Waled atau pimpinan tertinggi dayah.
Namun perkataan Waled justru disambut dengan suara bentakan.
“Mereka GAM. Untuk apa kau lindungi mereka.”
“Tidak pak. Mereka cuma guru dayah biasa. Saya mohon agar jenazah ini dimakamkan di komplek dayah. Mereka tak bersalah.”
Suasana kemudian terasa hening. Di dalam kamar, tubuh Mustafa tiba-tiba mengigil. Ia ingin sekali keluar dan membalas prilaku brutal. Baik Teungku Fiah dan Mustafa, kini sabar bahwa demi melindungi mereka berdua, ada teungku teungku dayah yang kini menuai ajal.
Tiba-tiba seseorang kembali terdengar bersuara dari arah luar.
“Baiklah. Kuburkan mereka. Ini akibat kebodohan mereka sendiri akibat melindungi GAM. Kalau masih ada yang coba-coba memberi perlindungan kepada tentara nanggroe, mereka akan menuai ajal yang sama.”
“Semua keluar dari dayah ini. Kembali ke markas.”
Beberapa menit kemudian, suara hentakan sepatu terdengar. Kemudian dilanjutkan dengan deru mesin mobil yang bergerak menjauh.
Mustafa terjatuh ke lantai dalam posisi duduk. Sementara Teungku Fiah bersandar di dinding.
“Kita sepertinya harus segera keluar dari dayah ini teungku. Aku tak mau, korban berjatuhan demi kita,” ujar Mustafa.
Teungku Fiah mengangguk tanda setuju.
“Kau hubungi Lemha. Minta penghubung untuk segera menjemput kita,” ujarnya.
[Bersambung]