Aceh merupakan wilayah yang kaya dengan tradisi dari zaman penjajahan hingga saat ini. Aceh terletak di bagian ujung utara pulau samudrah, dan sebuah provinsi dari wilayah Republik Indonesia. Keluasan wilayah Aceh tak dapat dipungkiri yang memiliki keistimewaan sendiri.
Wilayah Aceh terbagi dalam beberapa daerah yang mempunyai keunikan tradisi dan budaya yang berbeda-beda, keunikannya membuat daya tarik bagi sejarahwan atau budayawan untuk mengkaji dan meneliti tentang tradisi dan budaya di setiap daerah Aceh, dan lalu membuat tulisan mengenai proses perkembangan dan kemuduran dalam konsep berbudaya di Aceh.
Dalam hal ini, mencangkup tentang tradisi yang menjelaskan sebuah kelompok pada daerah tertentu yang mengabdikan sepanjang masa dan sebuah kebiasaan masyarakat.
Terdapat pula dengan budaya yang mempunyai ciri khas dalam satu bangsa yang harus di lestarikan.
Masyarakat Aceh tidak pernah meluputkan ingatannya terhadap peristiwa yang telah terjadi seperti, tradisi dan kebudayaan. Maka dari itu, segalanya harus tetap tegak dan menjadi pendoman kepada kita yang telah mewarisi dari nenek moyang.
Terdapat dalam sebuah tradisi yang masih berkembang pada saat ini, yang sering dilakukan oleh masayarakat daerah Seulimum kampung Alue Gintong, yaitu berupa sistem barter yang menjadi tradisi pada masyarakat di sana.
Barter merupakan kegiatan tukar menukar barang tanpa menggunakan uang, dan bentuk awal perdagangan manusia. Sistem barter mempermudahkan seseorang untuk membeli barang tanpa menggunakan uang, karena pada jaman dulu masyarakat belum menemukan uang.
Pada tahun 6000 SM, Mesopotamia yang pertama kali memperkenalkan sistem barter, setelah itu diadopsi oleh orang Fenesia yang menukarkan barangnya ke kota lain. Oleh sebab itu, sistem barter tersebar luas keseluruh dunia hingga kepada bangsa Eropa. Pada abad pertengahan bangsa Eropa menggunakan barter pada rakyat Indonesia, maka sistem barter semakin berkembang di Indonesia.
Kemudian, dapat kita lihat di daerah Selimum (Aceh-red) pada perkampungan Alue Gintong. Masyarakat disana masih mempraktikan perdagangan antar barang ke barang, biasanya di bawa oleh seorang pedagang yang mengandarai sebuah mobil mitrsubishi, kemudian memperjualkan barang kepada masyarakat di desa tersebut, barang-barangnya seperti kuali tanah (beulangong tanoh), cuwek (cobek), dan garam. Ketiga barang tersebut hanya dapat ditukar dengan Padi dari masyarakat.
Pada umumnya, penduduk Aluen Gintong beranggapan bahwa tukar menukar barang lebih mudah prosesnya di banding dengan menjual ke pasar, yang akan memakan waktu dan mengeluarkan biaya yang banyak.
Penerapan ini menjadi tradisi bagi penduduk setempat yang telah di wariskan secara turun menurun. Maka dari itu, sistem barter sangat sulit ditinggalkan oleh masyarakat Alue Gintong, yang sangat berpengaruh bagi masyarakat disana.
Perdagangan berter ini akan memberikan dampak yang baik, masyarakat akan lebih mengenal satu sama lain, dari sistem inilah orang-orang lebih banyak berkomunikasi dan mempereratkan tali silahturahmi. Sangat berbeda dengan pembayar melalui uang, apabila telah melakukan transaksi maka habis sudah pembahasan.
Pada zaman leluhur mereka sering menggunakan sistem barter, dari itu mereka memiliki hubungan yang baik pada masyarakat sekitar. Oleh karena itu, semakin sering melakukan berter, semakin banyak kerabat yang dikenal.
Tradisi penukaran barang tanpa uang masih awet dan berkembang di kampung Alue Gintong. Marilah sama sama kita melestarikan tradisi yang ada di daerah masing-masing agar selalu terjaga dan terjalankan bukan untuk meninggalkannya.
Penulis adalah Riski Nanda, Mahasiswi SKI UIN Ar-Raniry.