Banda Aceh – Pengamat ekonomi dan politik Universitas Muhammadyah (Umuha) Banda Aceh Dr. Taufik Abdul Rahim mengatakan rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang berlangsung Senin 20 April 2020 lalu, untuk kesekian kalinya (4 kali-red), undangan resmi yang ditujukan kepada eksekutif, agar Plt. Gubernur hadir, ternyata hanya dihadiri oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh dan para Kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA).
“Ini menunjukkan secara politik, dikerdilkannya DPRA. Yang semestinya posisi eksekutif dan legislatif sejajar dan setara dalam konteks politik kekuasaan modern,” ujar Dr. Taufik.
Secara pemahaman umum, kata dia, politik dan kekuasaan ternyata DPR Aceh masih dibawah kapasitas posisi kepemimpinan eksekutif (Plt. Gubernur) Aceh. Realitas ini menunjukkan ada kekuatan politik yang tidak mampu dibuktikan DPRA bahwa posisi kesejajaran politik kekuasaan harus diterima.
“Meskipun DPRA menyangkal ada oligarki politik ketidaksetaraan yang dimainkan. Juga ada kekuatan kekuasaan lain yang menjadi eksekutif semakin merasa berada di atas, bisa jadi ada “cukong kekuasaan” yang memainkannya.”
Menurutnya, meskipun rapat paripurna penyerahan hasil reses, pengesahan alat kelengkapan dewan (AKD) secara resmi penuh dengan “bargaining politik”. Namun secara nyata ditengarai ada kepentingan antara eksekutif dan legislatif yang saling menguntungkan dimainkan.
“Sehingga mengabaikan kehormatan, kekuasaan dan martabatnya, dan juga rakyat jika dianggap menguntungkan untuk kepentingan politik jangka pendek.”
“Seharusnya DPRA tegas, karena diasumsikan serta dipahami secara politik bahwa, ada upaya untuk mencari landasan hukum, aturan serta tata tertib dibenarkan untuk tidak hadir, kemudian mewakilkan kepada bawahan Sekda dan SKPA yang sesungguhnya hanya para birokrasi dan Aparatur Sipil Negara (ASN), yang sama sekali tidak memiliki kapasitas untuk mengambil kebijakan politik, mereka hanya pelaksana kegiatan pemerintahan dan pembangunan Aceh. Bukan pengambil kebijakan terhadap kebijakan publik dan politik Aceh.”
Oleh karena itu, katanya, kasus ini tidak boleh dibiarkan dan dibenarkan terus-menerus, ketidakhadiran undangan resmi terkesan melecehkan kelembagaan resmi politik Aceh. Jika ini terus dilakukan akan menjadikan rakyat curiga ditengah berbagai kebijakan yang banyak tidak memihak kepada rakyat, penyelewengan anggaran semakin masif, pemanfaatan anggaran belanja publik aneh-aneh, pengumuman terder proyek jalan terus. Sehingga rakyat tidak nemiliki harapan dan hilang kepercayaan (distrust) terhadap elite Aceh ditengah ketidakpastian dan kesusahan hidup menghadapi pandemi corona virus 2019 (Covid-19).
“Ternyata antara eksekutif dan legislatif posisi kekuasaannya tidak sejajar, berdampak kepada kesewenangan pengambilan kebijakan yang berlaku selama ini serta fungsi legislatif lemah dan mandul, rakyat hanya menonton sandiwara dari babak ke babak berikutnya.”