Oleh Syukran Jazila, S. HI
Penulis adalah alumni Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan Pegiat Ekonomi Syariah.
Aceh merupakan salah satu provinsi yang diberi kewenangan khusus oleh pemerintah pusat untuk menjalankan roda kepemerintahannya melalui UUPA. Salah satu kewenangan khusus yang diberikan sebagaimana yang dijabarkan dalam UUPA dimana Aceh salah satu provinsi yang menerapkan Syariat Islam dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Hal-hal yang mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam sendiri juga di atur dalam beberapa Qanun baik menyangkut tentang Aqidah, Ibadah, Hukum bahkan Muamalah itu sendiri.
Dalam bermuamalah, agama Islam juga mengatur aktifitas ekonomi manusia terkait jual beli, tata niaga, dan cara masyarakat menjalankan bisnis baik yang dilakukan oleh personal, kelompok bahkan institusi sekalipun. Namun aspek muamalah ini jika dikaji lebih mendalam sebenarnya juga mengatur pengaruhnya terhadap prilaku dan sikap manusia terkait penggunaan materi dan objek yang diperoleh dan dimanfaatkan demi keberlangsungan kebutuhan hidupnya. Aturan-aturan syariah yang komplek dalam perihal muamalah dapat memberikan dampak terhadap karakter pelaku bisnis terutama bagi masyarakat.
Selain ditekankan tentang cara berbisnis yang sesuai tuntunan syariah, Allah Swt juga menyuruh hambanya untuk menggunakan harta atau materi dengan cara baik dan benar, lebih jelasnya Allah menyuruh manusia untuk berprilaku dalam memanfaatkan hartanya secara halal dan baik. Halal cara memperolehnya dan baik cara mempergunakannya, Halallan Thayyiban.
Manusia dalam ekonomi dikatakan sebagai penggerak aktivitas ekonomi, yang salah satunya menjalankan kegiatan konsumsi baik barang maupun jasa. Sebagai masyarakat yang hidup dengan norma agama, cara-cara melakukan konsumsi ini harus semestinya dilakukan oleh manusia dengan menerapkan perilaku konsumsi sesuai yang diajarkan oleh Islam. Supaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia dipastikan dapat memberikan kemaslahatan bagi diri sendiri dan satu sama lain. Sebagaimana tujuan dari Maqashid Syari’ah yaitu untuk menyejahterakan umat manusia (mashalih al ibad) baik urusan dunia maupun urusan akhirat.
Imam Asy-Syatibi mengatakan manusia memiliki lima kebutuhan dasar atau disebut dengan Ad-Daruriyat Al-Khams. Kelima kebutuhan dasar itu adalah kebutuhan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima kebutuhan ini kemudian dilihat lagi apakah termasuk dharuriyat (primer), hajiyyat (sekunder), atau tahsiniyyat (tertier). Dalam terminologi syariat, Imam Nawawi mendefinisikan kebutuhan itu mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan hal-hal yang memang harus dipenuhi, sesuai dengan kondisinya tanpa berlebihan dan pengurangan, baik bagi orang itu sendiri maupun bagi orang lain. Sementara dalam ilmu ekonomi kebutuhan didefinisikan sebagai keinginan untuk memperoleh sesuatu sasaran tertentu, sebagai upaya untuk menghentikan penderitaan dan pencegahan terjadinya hal itu, bahkan untuk melestarikan suatu kondisi atau meningkatkannya.
Sementara itu jika kita lihat laporan Bank Dunia pada tahun 2015, dimana Bank Dunia pada pada tahun itu mengatakan, manfaat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya bisa dinikmati 18 hingga 20 % masyarakatnya. Mereka diidentifikasi sebagai masyarakat konsumtif yang tinggal di perkotaan. Penyebabnya mereka menjadi masyarakat konsumtif karena memiliki tingkat dan kualitas pendidikan yang tinggi, sehingga mereka berkesempatan mendapatkan penghasilan yang tinggi pula. Kalangan dengan penghasilan tinggi, menjadi bagian dari konsumen yang tak hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun untuk merayakan gaya hidup dan status sosial. Contohnya dengan membeli barang-barang mewah, berwisata ke luar daerah bahkan keluar negeri.
Di sisi lain data BPS, pada triwulan II tahun 2019 menunjukkan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 5,05 persen. Dan jumlah masyarakat konsumtif di Indonesia meningkat dari 85 juta orang pada tahun 2020 menjadi 135 juta orang di tahun 2030. Walaupun Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti pernah menilai konsumtif yang dilakukan generasi millenial memperkuat perekonomian Indonesia, yang disebabkan karakteristik generasi muda yang dinilai masih produktif sehingga memiliki daya beli.
Jika kita melihat terminologi, fakta dan data diatas, bahwasanya perilaku konsumtif masyarakat kita sangat tinggi, terutama mereka yang hidup di perkotaan. Peningkatan angka konsumtif ini seharusnya bisa mengimbangi produktif dalam masyarakat supaya ke khawatiran setelah angka konsumtif melonjak di tahun 2020 bisa menjadi koreksi terhadap kegiatan produktifitas yang ada pada masyarakat.
Aceh yang diberikan kewenangan khusus menerapkan Syariat Islam hari ini juga teridentifikasi bahwasanya konsumtif pada masyarakat lebih tinggi, ini bisa dilihat dari banyaknya belanja dan pendapatan daerah dari tahun ke tahun sangat tinggi. Pola hidup masyarakat yang memiliki belanja dan pendapatan berlebihan juga mencerminkan perilaku ekonomi di daerah tersebut.
Pada dasarnya peningkatan taraf ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah sudah semestinya merujuk pada tatanan masyarakat dengan melihat perilaku konsumtif harus sesuai dengan syariah. Karena dengan mengedepankan sikap dan perilaku konsumtif sesuai syariah, nantinya akan terbentuk karakter pribadi atau stakeholder yang mampu menjalankan roda ekonomi sesuai syariah dalam ruang lingkup masyarakat maupun instasi kepemerintahan sebagaimana tujuan dan esensi penerapan syariat Islam. Qanun LKS nomor 11 tahun 2018 diharapkan bisa menjadi acuan utama untuk melakukan fungsi tijarah sesuai syariah dibidang keuangan, perbankan, dan aktifitas ekonomi sekaligus memberikan dampak yang kuat terhadap karakter dan prilaku masyarakat Aceh, pelaku bisnis dan stakeholder kepemerintahan.
Sebagai pribadi muslim dan bagian dari masyarakat yang hidup di provinsi yang menerapkan Syariat Islam kita tidak seharusnya melakukan hal yang tidak bagus menurut syariat itu sendiri, misal boros dalam pengelolaan harta baik yang dilakukan secara pribadi, perusahaan, lembaga atau instansi pemerintah terutama dalam hal output finansial atau budget pada setiap aktifitas ekonomi satu sama lain. Misalnya saja dengan berbelanja barang yang tidak penting, dan hidup gaya glamour layaknya seperti hidup di kota metropolitan yang mana kita harus mengeluarkan uang untuk membeli kebutuhan yang tidak mendatangkan manfaat. Meskipun kehidupan masyarakat kota itu diidentikkan dengan status sosial yang tinggi karena didominasi dengan tingkat berpenghasilan yang tinggi pula, seorang muslim tak seharusnya melakukan nya seperti itu. Bagi seorang muslim selayaknya pemanfaatan finansial dikedepankan untuk hal yang bermanfaat dan bisa memberikan dampak yang besar untuk peningkatan taraf perekonomian yang lebih baik antar sesama.
Dalam Al-Quran pun Allah Swt menyamakan Tabdzir (pemborosan) sebagai saudara syaitan. “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS: Al-Isro’: 26-27).
Urusan kesejahteraan ummat dan amanah yang dipegang oleh seorang pemimpin atau pemerintah harus ditunaikan dengan tuntunan agama dan sesuai dengan muamalah jika itu terkait bidang ekonomi, yang mana ini harus dipahami betul terhadap penerapannya. Semoga Allah Swt melindungi dan menuntun pemimpin kita terus melakukan kebaikan melalui kinerja pada bidangnya sesuai tuntunan yang sudah diatur dalam syariah di bumi serambi mekkah ini, agar masyarakat Aceh bisa menerapkan dengan sempurna indahnya hidup dalam bingkai syariat. []