Jakarta – Ibtihaj Muhammad merupakan wanita muslim Amerika Serikat pertama yang mengenakan hijab dan meraih medali di Olimpiade.
Prestasi tersebut dimiliki Ibtihaj Muhammad saat meraih medali perunggu di kategori tim sabel putri pada Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil.
Ibtihaj Muhammad tidak mencapai itu semua dengan mudah. Butuh kerja keras dalam menentang diskriminasi yang dia alami dalam hidup, baik sebagai atlet maupun muslimah.
Ia merupakan warga asli New York yang lahir di New Jersey, tepatnya di Maplewood. Ibtihaj besar di pinggiran Kota New York dan keluarganya adalah satu-satunya keluarga muslim di lingkungannya.
Mengenakan hijab adalah hal biasa di dalam keluarganya. Ibtihaj memakai hijab sejak kecil. Bahkan, ketika duduk di sekolah dasar, dia harus menjelaskan apa itu hijab kepada teman sekelasnya.
Ibtihaj mengakui menjadi minoritas dan memakai hijab di usia yang begitu muda memberikan beban yang cukup berat untuknya.
“Pada usia itu, Anda ingin menyesuaikan diri,” kata Ibtihaj Muhammad dikutip dari Wbur.
Hijab juga yang jadi alasan bagi Ibtihaj Muhammad mengenali, menekuni, hingga mencintai olahraga anggar yang membuat namanya kian menjulang.
Wanita 37 tahun ini mengenal anggar ketika orang tuanya sedang mencarikan olahraga yang cocok untuk anaknya tersebut. Olahraga yang tidak perlu membuatnya mengganti seragam, karena Ibtihaj mengenakan hijab.
“Anggar secara unik mengakomodasi keyakinan agama saya. Jadi, sepertinya ini adalah keputusan yang mudah untuk belajar olahraga,” ucap Ibtihaj menurut laporan Hypebae.
Ibtihaj sangat menyukai anggar. Karena olahraga itu tidak membuatnya merasa berbeda dengan yang lain. Seragam anggar yang menutup semua bagian tubuh termasuk hijab menempatkan Ibtihaj setara dengan anak-anak lainnya.
Namun jalan Ibtihaj tidak mudah, serangan anti-muslim dan diskriminasi itu juga makin dia rasakan saat tumbuh dewasa. Termasuk ketika sukses menembus timnas anggar Amerika Serikat pada 2010.
Ketika berada di timnas Amerika Serikat anak dari pasangan Eugene Muhammad dan Denise ini sempat merasa terpinggirkan dengan tidak mendapat kepercayaan pelatih dan tidak diinginkan rekan-rekan setimnya hanya karena warna kulit dan agama.
Akan tetapi, pada saat itu juga Ibtihaj berpikir, dengan masuk timnas anggar Amerika Serikat, ia merasa memiliki momen guna mengubah pandangan banyak tentang kaum muslim dan juga Afrika-Amerika di cabor tersebut.
“Untuk seorang wanita Afrika-Amerika, naik peringkat dan juga memakai hijab, untuk alasan apa pun, tidak pernah diterima dengan baik. Dan secara pribadi, saya katakan menentang hal ini,” kata Ibtihaj.
“Mengapa orang-orang terintimidasi oleh hijab saya atau terintimidasi oleh etnis saya, dan mengapa kita tidak bisa hidup serta punya kesempatan yang sama?” tutur Ibtihaj menambahkan.
Ibtihaj mengabaikan semua diskriminasi tersebut. Ia terus berupaya menjadi penyemangat untuk dirinya sendiri berlandaskan keimanan sebagai seorang muslimah. Saat libur latihan, ia mengisi hari-harinya dengan berdoa.
Menjadi atlet minoritas tidak membuat Ibtihaj berpikir membandingkan diri dengan orang lain. Menurutnya, pesaing terbesar adalah diri sendiri. Karena itu semasa di timnas anggar Ibtihaj merasa harus tampil luar biasa untuk bisa diterima.
Keteguhan Ibtihaj berlatih dan beragama itu juga yang membawanya ke jalan kesuksesan. Ibtihaj gagal di nomor sabel tunggal putri setelah tersingkir di babak 16, tetapi ia meraih perunggu di nomor tim sabel putri usai AS mengalahkan Italia 45-30 di Olimpiade 2016.
Prestasi itu tidak saja membuat Ibtihaj jadi atlet muslim Amerika Serikat pertama yang mengenakan hijab di Olimpiade, tetapi juga atlet muslim AS pertama yang meraih medali di multievent empat tahunan tersebut.
“Saya tidak pernah melupakan momen ini,” jelas Ibtihaj dikutip dari LA Times.
Kesuksesan tersebut menunjukkan kerja keras dan keimanan Ibtihaj bisa menaklukkan hal yang mustahil, termasuk melampaui nilai-nilai olahraga. Padahal, di saat Ibtihaj dan timnya tengah mempersiapkan diri menuju Rio de Janeiro, Donald Trump yang kini jadi Presiden AS berkampanye dengan sejumlah kontroversi, salah satunya menyerukan larangan imigrasi muslim.
Keberhasilan Ibtihaj itu mendapat pujian dari Presiden Barack Obama, majalah Time memasukkannya sebagai salah satu di antara 100 orang paling berpengaruh, dan merek Mattel mengeluarkan boneka Barbie dengan wajahnya.
Lulusan Universitas Duke dengan gelar ganda di Hubungan Internasional dan Studi Afrika ini menjelma menjadi inspirasi bagi wanita muda muslim, sesuai dengan janjinya yang ingin jadi contoh baik bagi semua orang.
“Saya berharap mengubah citra yang mungkin dimiliki orang-orang tentang wanita muslim. Kami datang dalam berbagai bentuk, warna, dan ukuran yang berbeda, dan kami berasal dari latar belakang berbeda, serta kami adalah anggota masyarakat yang produktif,” ujar Ibtihaj.
Ibtihaj kini tidak saja sukses sebagai atlet, tetapi juga memiliki perusahaan mode dengan merek Louella yang didirikan bersama saudara perempuannya. Selain itu ia juga menulis autobiografi dan buku anak-anak.