Oleh : H. Roni Haldi, Lc
Penghulu Muda KUA Kec. Susoh Dan Penulis Buku Melipat Hasrat Menyimpan Siasat
Tersebut lah kisah menjelang wafatnya Amirul mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam az- Zuhri. Umar bin Khattab memanggil para sahabat yang akan dijadikan penggantinya. Di hadapan keenam anggota majelis syura dalam keadaan menahan sakit dari luka yang dideritanya akibat tusukan Ibnu Muljam.
Sambil menahan sakit, Umar bin Khattab berkata dihadapan keenam Majelis syura,
“Apakah masing-masing diantara kalian ada yang berambisi menjadi khalifah setelahku?”
Semua yang hadir diam membisu, tertunduk enggan melihat memandang wajah Umar bin Khattab. Setelah terdiam sejenak, Umar kembali mengulangi pertanyaannya.
“Apakah masing-masing kalian berambisi menduduki jabatan khalifah setelahku?” “Jawab lah pertanyaannya!”
Salah seorang yang hadir, Zubair bin ‘Awwam berusaha memberanikan diri untuk menjawab. “Benar”, ujarnya. Kiranya apa yang menjauhkan dan menghalangi kami darinya, sedang engkau wahai Umar telah menjabat dan melaksanakan nya? Padahal kami ini tidaklah lebih rendah dari engkau dari kalangan Quraisy. Kami juga termasuk orang-orang yang duluan masuk Islam dan juga dekat kekerabatan dengan Rasulullah?”
Sambil tersenyum Umar berkata, “Bersediakah kalau aku beritahu sifat-sifat kalian?”
Mereka menjawab, “Ya, karena engkau jujur dan tegas dan engkau tak meringankan penilaian walau kami minta maaf.”
“Adapun engkau wahai Zubair,” kata Umar sambil menghela nafas, “Adalah orang cepat terbakar amarah, sempit dada serta lé uh ambisi. Engkau seorang mukmin disaat ridha, dan sekaligus seorang kafir disaat murka. Kadang sebagai manusi, di lain waktu berubah sebagai setan. Bisa jadi jika aku memilihmu dan menyerahkan jabatan khalifah ini kepadamu, niscaya engkau akan berbuat aniaya bahkan meski hanya pada satu mud gandum. Pikirkanlah wahai Zubair. Jika aku memasrahkan kepadamu, siapa yang akan menjadi pemimpin bagi manusia pada hari engkau menjadi setan? Demi Allah, tidak akan menyerahkan urusan umat Muhammad ini kepadamu sedang dalam dirimu masih bersemanyam sifat-sifat itu.”
Mendengarkan uraian Umar bin Khattab, Zubair tertunduk malu. Tak sedikit pun kata-kata keluar dari mulutnya.
Kemudian Umar bin Khattab mengarahkan pandangannya ke wajah Thalhah bin Ubaidillah. “Apakah aku akan bicara tentangmu atau aku diam,” ujar Umar.
“Bicaralah. Tapi aku tahu, sesungguhnya engkau takkan bicara tentang kebaikanku sedikit pun.” jawab Thalhah.
“Demi Allah wahai Thalhah, aku tidak mengenalmu lagi sejak hilang hari-hari mu pada peperangan Uhud. Semenjak itu engkau telah dirasuki bangga diri dan sombong. Telah wafat Rasulullah dalam keadaan murka atas apa yang engkau katakan sehingga turunlah ayat hijab. Wahai Thalhah, apakah akan aku tambah lagi atau aku diam?” ujar Umar.
Tholhah nyaris menangis. “Diamlah! Itu cukup!” katanya
terisak.
Kemudian ‘Umar menghadap ke arah Sa’ad ibn Abi Waqqash.
“Adapun engkau, hai Sa’ad. adalah tukang berburu, pemilik busur,
anak panah, dan tombak. Engkau adalah bagian dari sekumpulan
kuda perang dan pasukan. Engkau seorang panglima perang yang
memiliki kuku-kuku singa. Namun kau bukan khalifah! Bahkan Bani
Zuhrah pun takkan sanggup kau mengurusnya!”
Lalu ‘Umar menghadap ke arah ‘Ali ibn Abi Thalib.
“Dan adapun engkau, hai ‘Ali,” katanya, “Demi Allah, seandai-nya bukan karena unsur kelakar dalam dirimu, niscaya engkau bisa
membawa mereka pada tujuan yang terang dan kebenaran yang jelas
ketika engkau memimpin mereka. Sayangnya, mereka takkan mau
kau bawa ke sana. Mereka takkan melakukannya.”
Setelahnya, ‘Umar menghadap ke arah ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.
“Dan engkau, wahai ‘Abdurrahman. Seandainya setengah iman
seluruh kaum Muslimin ditimbang dengan imanmu, maka imanmu akan lebih berat. Akan tetapi dalam dirimu terdapat kelemahan. Dan
hal khilafah ini, tidak akan baik jika dipegang oleh orang yang
memiliki kelemahan seperti kelemahanmu!”
‘Abdurrahman ibn ‘Auf mengangguk-angguk dan tersenyum.
Terakhir, ‘Umar menghadap ke arah ‘Utsman bin Affan dan memintanya
mendekat.
“Sepertinya, hai ‘Utsman,” kata ‘Umar lembut, “Quraisy akan
mempercayakan urusan khilafah ini kepadamu lantaran kecintaan
mereka atasmu, ya Dzun Nurain. Lalu engkau akan mempersamakan
dan mengangkat Bani ‘Umayyah serta Bani Mu’aith atas manusia
dan memuliakan mereka dengan fa’i. Lalu sekelompok serigala-serigala Arab akan menyerang dan membunuhmu di tempat
tidurmu. Demi Allah, seandainya mereka menyerahkan khilafah
kepadamu, niscaya itulah yang akan kau alami. Dan seandainya
engkau menerima, niscaya itulah yang akan terjadi.”
Umar mendekatkan kepalanya ke kepala ‘Utsman. Diusapnya
ubun-ubun ‘Utsman penuh kasih, lalu dia berbisik di telinga ‘Utsman, “Ingatlah ucapanku ini. Sebab ia akan terjadi.”
Memiliki sahabat yang baik adalah anugerah terindah. Sahabat dalam suka dan duka. Sahabat yang apa adanya. Sahabat yang tak hanya kedua biji mata saja melihat, tapi mata hatinya juga turut hadir merasai menilai. Sahabat yang memiliki kepekaan dalam merasa dan meraba kesalahan sahabat yang ia kasihi dan sayangi.
Suatu kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, tatkala memiliki sahabat yang mampu utuh menilai diri kita tentang siapa diri kita sebenarnya. Tak ada yang ditutupi apalagi dipuji agar menyenangkan hati. Sebab, kebanyakan kita bias dan acapkali tak jujur melakukan penilaian terhadap diri sendiri. Kita memberi nilai pada diri kita berangkat dari akumulasi dari apa-apa yang kita rasa dan kita mampu lakukan, apa-apa yang kita rasa benar dan baik menurut kita, sekali lagi menurut kita. Sedangkan orang lain membuat penilaian terhadap kita dari apa yang telah kita lakukan terhadap mereka yang kadang tak kita sadari atau mudah saja kita sangkal pungkiri.
Butuh keberanian dan kebeningan hati dari seorang sahabat untuk menilai utuh apa yang ada pada sahabatnya. Sebuah penilaian utuh berpondasikan kuatnya tancapan iman di dada dan dihiasi oleh kemuliaan akhlak dalam menasehati. Memberi nilai utuh berangkat dari kasih sayang bukan dari tatapan tajam mata kebencian. Memberi nilai terhadap sahabat bukan tak punya tujuan tak terarah, hanya maslahat dan kebaikan yang diinginkan dicita-citakan. Begitulah Umar bin Khattab mencontohkan kepada kita sebagai tauladan ikutan.
Umar bin Khattab pun sadar, bahwa dirinya juga tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Memberi nilai utuh sebenarnya tak mesti harus bersih seratus persen dari noda dosa dan kelalaian. Karena menasehati sahabat seiman adalah tugas mulia memupuk iman agar tetap terpelihara.
Memberi nilai utuh terhadap sahabat seiman bukan untuk Umar tapi untuk umat, itulah keyakinan dalam diri Amirul mukminin Umar bin Khattab terhadap para sahabatnya. Menilai utuh mereka tanpa membenci mencaci, mengurai lebar kekurangan kelemahan para sahabatnya di depan berhadap-hadapan bukan dibelakang berbalut prasangka busuk berniat buruk. Sulit memang, membedah kelakuan dihadapan keakuan seseorang yang berdiri di depan mata kita. Namun keberanian dan kebeningan hati seorang Umar bin Khattab mampu meluluhkan keakuan para sahabatnya demi kemashlahatan umat. Dan dengan kebersihan hati dan kerendahan dirilah para sahabat yang mulia, rela seluruh kelemahan dan keburukan mereka dibuka lebar oleh seorang Umar bin Khattab.
Bagaimana dengan kita? Siapakah kita dihadapkan lalu dibuka lebar seluruh kesalahan dan keburukan kita oleh seorang sahabat? Mampukah kedua telinga ini mendengar menyimaknya? Sanggupkah kedua mata kita menatap ke wajah sahabat tersebut dengan penuh cinta bukan benci yang menyala?
Menilai utuh apa adanya adalah ikhtiar menjaga ukhuwah dalam cinta. Bukan menggunting tali persaudaraan seiman akibat sangkaan gelap terselubung tanpa mau berterus terang. Membiarkan diri diam mematung dalam prasangka sama halnya sedang mendorong diri mencabut sedikit demi sedikit benang ukhuwah yang telah di rajut di pintal bersama. Takut memberi nilai utuh terhadap kesalahan dan kekurangan seorang sahabat sama halnya kita senang bergelut dalam prasangka buta. Hanya dengan keberanian memberi nilai utuh, itulah jalan jauhi prasangka. Menjadi penilai bukanlah berarti telah menjadi sosok yang paling baik. Tapi menjadi penilai utuh adalah awal langkah untuk muhasabah diri berkaca dari penilaian yang ada.