BRAM tersenyum saat melihat Ibnu dan Dara terdiam serta saling pandang.
“Baiklah. Aku izin kembali ke kantor dulu. Kalian duduk dulu berdua di sini. Nanti sore kita sama sama kembali ke Banda Aceh. Aku ingin bertemu dengan keluarga Dara juga. Untuk mengurusi beberapa berkas penting yang menjadi wasiat pak Buyung,” ujar Bram tiba-tiba.
“Aku jemput kalian nanti. Kalau mau keliling Bireuen, telepon saja. Aku pasti akan mengantar kalian. Tak hanya sebagai pengacara, aku juga keluarga kalian di sini,” kata Bram.
Ia bangun tanpa menunggu persetujuan dari Ibnu dan Dara. Ibnu masih berada dalam suasana kaku pasca Bram menceritakan wasiat Buyung.
Sementara Dara sedikit gelisah pasca mengetahui bahwa Ibnu kini mengetahui kalau ia adalah wanita yang dijodohkan dengannya sejak kecil. Entah Ibnu suka atau tidak dengan dirinya.
“Kalian tidak perlu khawatir dengan makanan dan minuman di Café ini. Semuanya aku yang bayar nanti. Yang perlu kalian lakukan adalah bicara dari hati ke hati,” kata Bram lagi sambil tersenyum. Ia kemudian berlalu.
Tinggal Ibnu dan Dara dalam kekakuan. Ibnu biasa memanggil Dara dengan sebutan Mbak. Namun setelah mengetahui wasiat ayah angkatnya, berarti Dara kini adalah calon istrinya. Ia tentu tak lagi bisa memanggil dengan sebutan tadi.
“Apakah kau tidak senang dengan wasiat tadi,” ujar Dara tiba-tiba untuk memutus kekakuan antara mereka.
“Kau bisa menolak kalau tidak setuju. Aku tak ingin mengikatmu dalam hubungan yang tidak kau kehendaki,” kata Dara lagi dengan nada datar.
Ia cukup hati-hati dalam menyampaikan kata-katanya. Ia khawatir Ibnu menolak untuk menjalankan wasiat tadi.
Ia sebenarnya sudah menyukai Ibnu sejak mereka berdua masih kecil. Bahkan ketika Sakdiah masih berkerja di warung ayahnya. Namun Ibnu kecil sering keras kepala. Kemudian ditambah, bahwa ia lebih tua dari Ibnu.
“Bukan begitu. Aku hanya terkejut dengan semua yang terjadi. Semua terlalu cepat,” kata Ibnu menatap Dara. Gadis itu kemudian tersenyum. Ada aliran listrik yang seolah menyengat Ibnu setiap kali menatap gadis itu pasca mengetahui wasiat dari almarhum pak Buyung. Ibnu kemudian menutupkan kepala.
“Apa kau menyukaiku?” tanya Dara kembali. Gadis itu lebih terbuka dalam hal perasaan. Mungkin karena ia hidup di kota besar. Ia juga memiliki karier yang bagus di ibukota.
“Bagiku. Cinta itu untuk istriku. Siapapun dia, setelah ijab Kabul, aku akan menjaganya dengan tulus dan segenap perasaan. Namun aku ada beberapa pertanyaan kepada dirimu. Kalau kau sepakat, aku berjanji akan dengan ikhlas menjalankan wasiat ini,” kata Ibnu kemudian.
Dara terdiam mendengar penuturan Ibnu. Namun kemudian ia mengangguk tanda setuju.
“Baiklah. Apa yang kau ingin kau tanyakan?” balasnya.
Ibnu menarik nafas panjang. “Aku sejak dulu ingin melanjutkan program magister di Australia. Rencananya berangkat pertengahan tahun ini? Apakah kau bisa menerimanya? Dengan kata lain berarti kita tak mungkin menikah dalam dua tahun ini. Aku ingin menjadi orang yang pantas bagimu. Kau memiliki karier yang bagus di ibukota. Sementara aku, sekarang hanya tukang burger. Setidaknya, aku memiliki pendidikan tinggi, untuk menjalankan wasiat keluargaku serta kemudian cocok jika disandingkan denganmu,” kata Ibnu kemudian.
[Bersambung]