BAGI Ibnu, Dara adalah sosok lain dari Riska. Dua dua-nya sama-sama cantik, modis dan memiliki argumentasi yang kuat dalam setiap berbicara. Yang sedikit membedakan, Dara lebih bijak dan dewasa dalam menghadapi masalah.
Baru dua hari ia kembali bertemu dengan Dara, namun Ibnu tidak lagi merasa canggung dengan wanita itu.
Sikap dan gaya bicaranya, membuat siapapun mereka nyaman. Mungkin karakter tersebut terbentuk selama ia aktif di Kementerian Pariwisata.
“Satu lagi. Mulai sekarang. Kamu panggil aku Dara saja. Setidaknya aku bisa merasakan lebih muda dan sesuai untuk menjadi pendampingmu kelak,” ujar Dara sambil mendekati kepala Ibnu dan memamerkan gigi putihnya.
Dara setengah bercanda. Ia tak ingin Ibnu terbebani dalam pembicaraan serius. Toh, masih ada dua tahun lagi ‘kemungkinan’ mereka menikah. Maka, masing-masing perlu penyesuaian diri.
Sedangkan Ibnu hampir terkesima dengan pesona Dara. Ia masih belum habis pikir, jika gadis itu mau dijodohkan dengan dirinya.
Ibnu tiba-tiba menatap Dara tak berkedip dalam waktu yang relatif lama. Keadaan ini membuat Dara grogi.
“Apa ada yang salah dengan perkataan atau penampilanku? Kenapa kau menatapku seperti itu?” ujar Dara kemudian.
Mendengar kalimat Dara, Ibnu tersentak sadar. Ia kemudian mengelus dada. “Jujur, aku seperti belum percaya kalau kamu mau dijodohkan dengan aku. Dara itu sangat cantik dan modis. Kamu juga memiliki karier bagus di ibukota. Kenapa harus susah-susah ke Aceh untuk mencariku? Padahal aku bukan apa-apa,” kata Ibnu.
Dara kembali melongo. Ia kesal mendengar pengakuan Ibnu yang sama sekali tidak percaya diri.
Mata Dara tiba-tiba melihat Bram yang turun dari mobil dan bergegas menuju ke arah mereka.
“Untung pembahasan dari hati ke hati mereka sudah selesai,” gumam Dara.
Dara mencoba kembali tersenyum. Ia kemudian menatap Ibnu. “Aku akan menjawab pertanyaanmu seiring waktu. Namun hari ini kita perlu pergi ke beberapa lokasi lain. Nanti sore kita harus pulang ke Banda Aceh. Mumpung ada mobil Bang Bram, yuk kita minta diantari,” ujar Dara tiba-tiba.
Ia kemudian bergegas menuju ke arah Bram. Keduanya terlihat berdialog dan Bram mengangguk.
Dari café, ketiganya kemudian menuju ke pedalaman Matang. Dari jalan yang ditelusuri, Ibnu dasar bahwa lokasi yang ditunjuk adalah bekas kediaman dirinya bersama sang ibu semasa masih hidup. Tadi pagi mereka bertakziah ke makam ibunya dan kedua orangtua Dara. Kini, prediksi Ibnu, lokasi yang dituju adalah makam ayahnya di belakang kebun yang tak jauh dari rumah kontrakan mereka.
“Aku harus minta restu pada calon mertua,” ujar Dara enteng tiba-tiba.
“Nanti kita ke Simpang Ulim juga. Pulangnya malam dan langsung ke Banda Aceh. Boleh ya Nu?” kata gadis itu lagi.
Mendengar hal ini, mata Ibnu berkaca-kaca. Ia tidak sanggup berbicara. Karena tangis akan terdengar ketika ia mencoba bicara nantinya.
Nicah Awe dan Simpang Ulim adalah sesuatu yang sangat dirindukannya selama ini. Karena dari sanalah, ia berasal dan merasakan hari hari penuh cinta.
[Bersambung]