Pertama, bagaimana Nurdin AR meyakinkan Jakarta untuk mengucurkan anggaran, padahal Pidie sedang dalam durjana ketika awal pemerintahannya. Entah bagaimana komunikasi seorang Nurdin, sehingga pembangunan infrastruktur pertanian dan pembangunan jalan berlangsung sangat masif dan baik, bahkan masih membekas sampai kini. Dia juga berhasil melobi penyelenggara MTQ tingkat Nasional di Pidie, dan Soeharto datang ke daerah paling bergolak itu. Sebagai seorang seniman, ia juga sukses menggelar pertemuan penyair se-Asia Tenggara di Universitas Jabal Ghafur yang didirikannya dengan susah payah itu.
Kedua, Nurdin mampu menggerakkan rakyatnya. Bahkan buat hal visioner yang merupakan lompatan jauh, membangun Unigha di sebuah bukit sepi nan tandus. Ketika banyak anak-anak nelayan dan anak petani, serta anak masyarakat kurang mampu tidak bisa kuliah, Nurdin AR berhasil memobilisasi massa untuk membantu pembangunan Unigha di Gle Gapui. Universitas swasta terbesar saat itu. Sebagian besar biayanya hasil gerakan swadaya rakyat Pidie, bahkan pernah punya fakultas Komputer terbaik se-Indonesia. Walau kini di tangan penerusnya hampir phak luyak.
Karena usahanya mendirikan Universitas Jabal Ghafur ini pula, Nurdin AR pernah dicap oleh pejabat di Jakarta sebagai “pengemis nomor wahid”. Ya, ia sendiri yang mengurus segala administrasi dan perlengkapan pendirian kampus. Bahkan meminta sumbangan buku ke berbagai instansi dan lembaga di Jakarta. Usahanya itu tidak sia-sia, Universitas Jabal Ghafur sampai kini telah melahirkan puluhan ribu alumni.
Begitulah sosok Nurdin AR, jauh melampaui jamannya. Ketika masa itu, pejabat laksana raja. Filosofi dia tentang jabatan publik/politik adalah jongos rakyat. Makanya dia nyaris tanpa sekat dengan siapapun, egaliter dan melayani.
Pakar ilmu kepemimpinan berkebangsaan Amerika, Jhon C Maxwell dalam bukunya ‘Leadership’ menulis, pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menumbuhkan kesetiaan pengikutnya. Pejabat terpilih kiranya perlu menelaah pesan intelektual yang disampaikan Maxwell. Terkadang keberhasilan dengan mudah dapat diraih, sedangkan merawatnya amatlah susah. Setelah dipercaya rakyat sebagai pemimpin, perlu kiranya menyusun langkah kongkrit sebagai pijakannya. Prinsip seorang pemimpin adalah dicintai rakyatnya, senang susah selalu bersama. Sering melihat kondisi rakyatnya walau tinggal di pedalaman sekali pun. Seorang pejabat telah menjadi milik publik, tidak lagi menjadi milik keluarga, golongan, dan kelompok tertentu.
Hakikat pemimpin adalah siap mengemban tugas dan tanggungjawab untuk memimpin dan bisa mempengaruhi orang yang dipimpinnya. Dengan menjadi seorang pemimpin berarti harus siap untuk pengayom rakyat. Artinya bukan hanya memimpin tetapi juga ikut ambil bagian dalam menyejahterakan rakyat, bukan hanya sekedar “pandai cakap tapi tak serupa buat” (caroeng bak peugah tapi hana lagee buet).
Sebagai penutup penulis hadirkan sebuah puisi karya Nurdin AR, puisi ini ditulis di Sigli pada 15 Juli 1986. Berikut kutipannya:
TIADA BEDA
Kita dicipta dengan cara yang sama
Dari tiada menjadi ada
Maka kalau dia kaya
Dan gagah
Hakikatnya tidak berubah
Untuk apa saling beda
Tiada makna di mataNya
Kita semua
Menuju masa
Tiada beda antara sesama
Semua dicipta sama
Kita saja pembuat beda
Wassalam …
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, admin komunitas instagram @habagampong.id dan pemerhati sosial.