Oleh: Mujaddid bin Abdullah*
Aku suka membaca bukan untuk menulis. Tidak pula dalam ukuran kuantitasnya untuk memanjangkan umur. Aku cinta membaca karena kesadaran terhadap kehidupan yang aku miliki hanya sekali. Adapun kehidupan sekali tidak cukup bagiku, sementara membaca – bukan selainnya – dialah yang memberiku kehidupan lebih dari sekali. Sebab, membaca akan menambah dan memperbanyak kehidupan ini dari sisi kedalaman. (Abbas Mahmud al-Akkad).
Pagi itu, Sabtu setelah subuh kami mencoba untuk menelusuri makna kedalaman yang dimaksud. Saya berangkat dari kampung halaman yang barangkali cukup jauh dibandingkan dengan teman-teman lainnya menuju ke kediaman salah satu guru kami untuk merawat apa yang penulis sebut dengan “iklim kesadaran membaca”.
Gagasan kolektif tersebut dimulai dengan membaca kitab “al-Munqiz min al-Dhalal”. Karyanya sang hujjatul Islam al-Ghazali yang memang telah berlangsung sejak beberapa waktu yang lalu. Tentu, gairah untuk menjelajahi aksara, meraba kata dan menyelami lautan klausa yang kita miliki memang sangatlah kerdil; dibandingkan dengan sosok sehebat Abbas Mahmud al-Akkad.
Kita memang belum mampu mengurusi semangat tersebut secara proporsional dan konsisten. Barangkali hanya sebatas kinerja musiman; yang sifatnya suum ek manoek (panas taik ayam) sehingga menghambat proses pertumbuhan kedalaman tersebut.
Konon, Abbas al-Akkad di waktu mudanya bercerita mampu membaca semalam penuh; mulai dari tenggelamnya matahari hingga setelah fajar. Ia membaca tanpa berhenti antara tujuh hingga delapan jam dalam kesehariannya. Spektrum semangat literasinya baru mengecil dan melemah di usia senjanya. Al-Akkad tua hanya mampu menatap goresan-goresan aksara tersebut berkisar dua dan tiga jam dalam sehari. Itupun dikerjakannya tidak dalam satu waktu.
Kalau kita hendak mengukur dan menimbang budaya literasi di sekitaran kita, semangat Abbas al-Akkad manakah yang kita miliki? Saya tidak berani mengatakan kedua-duanya. Baik literasinya di waktu tua apa lagi di waktu mudanya?
Barangkali gairah literasi al-Akkad baru sepadan disejajarkan dengan semangat kolektivitas kita dalam menyeruput segelas minuman di warung kopi. Memang, ini pun yang kami lakukan selepas menyelesaikan kajian kitab “al-Munqiz” saat itu.
Tradisi “ngopi” memang telah menjadi aktivitas yang mengakar kuat dalam kultur-sosial masyarakat kita, khususnya Aceh. “Ngopi” bukanlah lagi hanya sekedar kata. Ia adalah manifestasi simbolik gaya hidup dan wajah sosial yang membudaya.
Kalau coba-coba kita hitung, ada berapa puluhan warung kopi di sekitaran Banda Aceh saja misalkan, jika dicermati secara seksama senantiasa memiliki jamaah yang membludak. Bahkan fenomena tersebut tetap sama bila adanya warung kopi yang berdampingan sekalipun. Artinya, budaya “ngopi” tidaklah dipungkiri adalah sudah menjadi bagian dari konstruksi sosial.
Jika dalam tataran ilmu sosial, makhluk bernama manusia ini sering diistilahkan dengan “homo-sapiens”, dan baru-baru ini heboh sekaligus kontroversi dengan rekayasa istilah baru “homo-deus” dari Harari, sejarawan asal Israel, maka konstruksi sosial kita barangkali adalah “homo-capulus” (manusia kopi). Walaupun nanti pesanannya di atas meja kopi ternyata teh panas ataupun nutri sari.
Iya, definisi “ngopi” memang telah berkembang dan bergerak secara maju melewati batasan-batasan yang mengikat dalam kamus perbendaharaan kata. Namun tidak dengan literasi, kata ini agaknya telah lama mengendap dalam tumpukan kata (red; kamus) yang memfosil. “ngopi” menjadi kata yang aktif karena ia membudaya, sementara “literasi” sebaliknya.
Celotehan seorang teman di media sosial beberapa waktu lalu dalam menyikapi fenomena tahun baru barangkali ada benarnya. “Tahun baru memang bukan budaya kita, begitu juga dengan membaca” ungkapnya dalam bentuk ritme dan nada satire terhadap konstruksi sosial yang ada.
Penulis memahami apa yang diutarakan oleh si teman tersebut agaknya respon terhadap sikap kolektif yang cenderung terjebak pada tataran simbolik ketimbang substansinya. Esensi tahun baru boleh dimaknai secara positif apabila menjadi katalisator ataupun momentum perubahan kepada arah yang lebih baik. Sebutlah misalnya evaluasi terhadap peningkatan kuantitas maupun kualitas literasi dalam setiap tahunnya. “Saya berhasil menamatkan bacaan 20 buku dalam tahun ini, semoga tahun depan lebih dari ini”.
Begitu halnya dengan paradigma terhadap budaya “ngopi”, bagaimana ia mampu bergeser dari hanya sekedar cerminan kultur-sosial yang konsumtif kepada aktifitas sosial yang konstruktif dan produktif. “Ngopi” akhirnya bukan sebatas cerita tentang menikmati secangkir minuman sambil bereuforia. Ia adalah wadah untuk mempertemukan ide, merawat nalar kritis, mendiskusikan kondisi sosial politik dan ekonomi melalui berbagai agenda literasi secara masif.
“Ngopi” barangkali juga dapat ditafsirkan sebagai sebuah narasi “kegelisahan kolektif” terhadap kompas untuk memajukan ataupun memadanikan nanggroe (bangsa) yang masih kabur. Barangkali terkubur di bawah daki sejarah konflik kepentingan yang akut, terinjak-injak oleh sistem yang masih dihantui oleh penyakit ketidakadilan sosial yang membudaya; berupa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Memang, yang diperlukan adalah rekonstruksi sosial terhadap cara menikmati secangkir kopi. “Ngopi” adalah simbol bahasa. Upaya memaknainya harus dilihat dari sudut pandang yang baru. Kalau boleh meminjam teorinya Ferdinand de Saussure, petanda (signified) ataupun aspek mental dari simbol kata “ngopi” dapat berubah seiring dengan perkembangan dan kebutuhan perubahan konstruksi sosial.
Falsafah ataupun dimensi filosofis dari “ngopi” pun dapat berubah sebagai simbol perlawanan terhadap budaya yang krisis literasi dan sikap memusuhi ketidaktahuan (diam). Oleh karena itu, inilah menurut hemat penulis yang barangkali dapat dipahami sebagai apa yang disebut dengan ngopiisme ataupun ngopi ide. Seni memahami aktifitas “ngopi” sebagai sarana yang menghantarkan kepada iklim kesadaran membaca, ruang pergulatan ide dan serambi pertumbuhan wacana-wacana segar.
Dalam konteks yang demikian, eksistensi warung kopi dapat diimajinasikan bak pasar Ukaz (Souq Ukaz). Ia adalah kebanggaan Arab pra-Islam dari fungsinya sebagai arena pertunjukan syair-syair terpilih dari penyair legendaris Arab, yang konon katanya ditulis dengan tinta emas dan ditempel di dinding Ka’bah. Souq Ukaz adalah simbol literasi.
Ataupun bak pasar Mirbad (Souq Mirbad), sebagai arena tongkrongan sang penyair Farazdaq, Jarir, Abu Nawwas dan juga sastrawan al-Jahiz yang mempertarungkan kehebatan setiap bait-bait syair masing-masing di salah satu sudut kota Bashrah. Souq Mirbad pun adalah simbol literasi. Maaf, sekali lagi hendak bertanya, haruskah semuanya bermula dari sudut warung kopi?
*Penulis adalah Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh.