BULAN Agustus di depan mata. Ada dua momen krusial di bulan itu.
Pertama adalah 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan nasional. Sedangkan yang kedua adalah 15 Agustus sebagai hari perdamaian bagi seluruh warga di Aceh.
15 Agustus adalah hari yang sacral di Aceh. Hari di mana konflik puluhan tahun berakhir dan warga di Aceh bisa leluasa berpergian tanpa bayang-bayang todongan senjata. Tanpa takut menjadi korban peluru nyasar atau harus bergulir-gulir di aspal tanpa baju hanya karena aparat keamanan sedang galau.
Perdamaian di Aceh berlangsung pada 15 Agustus 2005 lalu. Itu berarti damai di Aceh sudah berjalan hampir 16 tahun lamanya.
GAM dan TNI yang terlibat baku hantam selama konflik kini bisa duduk semeja untuk ngopi bersama.
Beberapa eks kombatan juga kini menjadi pemimpin Aceh, baik bupati walikota maupun DPRK dan DPR Aceh.
Damai juga memberikan sejumlah keistimewaan dan kekhususan untuk Aceh. Salah satunya adalah dana Otsus yang berlimpah. Meski Otsus di Aceh masih dinikmati oleh sejumlah segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan.
Sedangkan penduduk di Aceh miskin. Ya, termiskin di Sumatera. Informasi ini merujuk pada data yang dikeluarkan oleh BPS Aceh.
Di luar persoalan Otsus, kekhususan Aceh soal bendera, lambang dan himne juga tak kunjung ada kejelasan.
Eksekutif Aceh seolah tak peduli dengan amanah qanun Aceh ini. Buktinya tak ada satupun SKPA maupun kantor Pemerintah Aceh yang membangun tiang tambahan di depan kantor mereka. Demikian juga dengan kantor bupati dan DPRK se-Aceh. Mereka seolah tak peduli dengan bendera Aceh tadi.
Bendera Aceh hanya jadi ‘makerting politik’ dari tahun ke tahun. Pengibarannya bahkan kini dilempar ke masyarakat. Beberapa yang mencoba mengibarkannya, akhirnya harus berhadapan dengan aparat penegak hukum.
Lantas bagaimana dengan DPR Aceh? Jawabannya, 11-12.
DPR Aceh hingga kini masih belum berani mengibarkan bendera Aceh di tiang kosong yang kini berdiri tegak di depan kantor.
Dalam sejarah, hanya Abdullah Saleh, anggota DPR Aceh dari PA pada periode sebelumnya yang pernah mencoba mengibarkan bendera Aceh di sana. Meskipun akhirnya berkalung di leher Hamid Zein selaku Sekwan saat itu.
Bagaimana dengan Ketua DPR Aceh sekarang?
“Segenap anggota DPRA berkomitmen untuk mengupayakan perwujudan Qanun Bendera Aceh, serta Himne. Kami akan upayakan pada 15 Agustus 2021 mendatang, Bendera Bintang Bulan dapat dikibarkan di seluruh Aceh,” ujar Dahlan Jamaluddin, ketua DPR Aceh seperti dikutip tribunnews pada 6 Desember 2020 lalu.
Kini, 15 Agustus 2021 tinggal beberapa hari lagi. Maka statemen Ketua DPR Aceh ini kembali membuka memori masyarakat soal bendera Aceh. Ia hanya beretorika belaka atau benar-benar ditepati. Atau jangan-jangan Dahlan sendiri telah lupa dengan komitmennya.
Kini damai berjalan hampir 16 tahun. Sedangkan umur Qanun Aceh soal bendera dan lambang sudah berjalan hampir 9 tahun.
Tapi komitmen tersebut tak kunjung diwujudkan.
Bagi politisi Aceh, hal ini sebenarnya bukanlah beban yang berat. Tak ada komitmen moral. Mereka hanya perlu berjanji dan berjanji. Jika janji terdahulu tak bisa diwujudkan, maka hanya perlu membuat janji baru.
“Kami akan upayakan pada 15 Agustus 2022 mendatang, Bendera Bintang Bulan dapat dikibarkan di seluruh Aceh.”
Mungkin kalimat di atas akan diucapkan menjelang momen 15 Agustus nanti dan ‘mungkin’ bertahun-tahun di masa depan. Jangan tanya soal komitmen kapan direalisasi.