Oleh Arwan Syahputra. Penulis adalah Wakil Sekretaris Umum bidang perguruan tinggi Kemahasiswaan dan pemuda (Wasekum PTKP) Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Lhokseumawe-Aceh Utara
Tak ada perbuatan ikhlas tanpa didasari dengan perilaku merdeka. Bahkan dalam peribadatan individu (hubungan manusia dengan Tuhan/Hablum Minallah) maupun ibadah sosial (Hubungan terhadap sesama/interaksi sosial/Hablum Minannas) meskilah didasari dengan perilaku yang merdeka agar terwujudnya perbuatan berlandaskan keikhlasan yang insani.
Pada hakikatnya, manusia memiliki kemerdekaan yang menjadi fakta azasi kemanusiaan untuk bertindak merdeka. Perbuatan merdeka ini menjadi bagian dari kebebasan itu sendiri.
Manusia terlahir secara individu, hidup ditengah masyarakat dan akan kembali secara individu ( Begitu kata Dr Azari Akmal Tarigan, Dalam Bukunya ‘Islam Madzhab HMI). Oleh sebabnya, menjadi penting, manusia sebagai makhluk yang terlahir secara individu memiliki kemerdekaan dalam bertindak.
Paparan mengenai kemerdekaan diatas, menjadi solusi terhadap ‘belenggu’ yang dihadapi mahasiswa hari ini.
Berbagai kegiatan mahasiswa diperguruan tinggi, semisal : berdemonstrasi, berorganisasi, menggelar kegiatan kemahasiswaan dan melakukan pengabdian ditengah masyarakat, yang dilakukan dengan ikut-ikutan maupun dengan intervensi atau perintah eksternal, akan menjadi lahirnya perbuatan dengan paksaan, yang sulit mendapatkan keikhlasan yang insani. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis, perbuatan mahasiswa yang dilakukan tanpa kemerdekaan menjadi cikal bakal tumbuhnya ‘belenggu’ kemanusiaan dalam diri mahasiswa.
Sebagai contoh, dari seorang Martin Luther King ( aktivis Afrika-Amerika) yang dikenal sebagai pejuang Hak Asasi Manusia (HAM). Ia juga merupakan pemimpin terpenting dalam sejarah Amerika Serikat (AS) serta sejarah non-kekerasan di zaman modern. Tak hanya itu, ia dianggap sebagai pencipta perdamaian dan martir oleh banyak orang di dunia.
Lahirnya peradaban dan perdamaian yang di ikhtiarkan oleh Martin Luther ini, mesti didasari dengan perbuatan yang merdeka, atas kehendak sendiri, dan menggunakan fakta azasi nya sebagai manusia.
Lalu bagaimana dengan masalah kemerdekaan yang sering di gembar-gemborkan oleh mahasiswa hari ini?
Mengutip cuplikan puisi yang dikarang oleh Wiji Tukul yang berjudul ‘Apa guna’, pada bait pertama berbunyi begini :
“Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu.”
Sebahagian (kecil maupun besar) mahasiswa masih terdapat bungkam terhadap masalah internal kampus, maupun sistem birokrasi negeri, mesti adanya alasan tersendiri. Seperti ancaman akademik, ketakutan akan resiko, dan hal-hal lainnya.
Sebenarnya, tiap perbuatan mestilah ada sebuah resiko, ada hak azasi, ada kewajiban azasi dan tanggung jawab azasi (yang menjadi konsekuensi logis atas perbuatan itu sendiri).
Apa yang perlu ditakuti dengan sebuah resiko? Dr Fahrudin Faiz yang mengutip pendapat dari Cicero, menyebutkan ada 5 kesalahan manusia, termasuk satu diantara ‘Ketakutan terhadap hal yang tidak dapat di ubah atau diluruskan’.
Kenapa harus takut pada hal yang pasti? misal ingin bertempur, lalu takut mati, ingin berdemonstrasi lalu takut resiko, ingin angkat bicara persoalan kampus lalu takut tekanan, ingin berjuang persoalan rakyat lalu takut ‘teror’, atau ketakutan-ketakutan lainnya yang melanda mahasiswa. Dan sebuah perbuatan dan resiko, bukanlah hal yang penting menjadi momok yang menakutkan, namun ikhtiar untuk mewaspadai adalah keharusan.
Ketakutan-ketakutan seperti itu menjadi belenggu kemanusiaan dalam diri mahasiswa diperguruan tinggi, yang mengikat dirinya untuk bertindak merdeka, dan tak bisa menyampaikan apa yang dipikirkan, diresahkan. Saat tak bisa menyampaikan apa yang dipikirkan merupakan ‘ Sebuah perbudakan’
Padahal menyampaikan pokok-pokok pikiran dan bersikap kritis itu adalah manifestasi nilai keadilan itu sendiri. Seperti kata Pramudya Ananta Toer, Bertindak adil sejak dalam pikiran apalagi dalam kenyataan.
Menjawab persoalan belenggu kemanusiaan yang dialami oleh mahasiswa itu, Himpunan Mahasiswa Islam telah menjawabnya sejak terlahir pada tahun 1947. Membebaskan belenggu itu, dilakukan HMI lewat komitmen Keislaman dan keindonesiaan, bahkan telah menjadi pembuktian yang sah, terlihat dari dedikasinya membangun dan merawat ngeri yang berumur 76 tahun ini.
Apalagi berlandaskan pada mission HMI, yang dibagi menjadi 5 kualitas insan cita, yakni kualitas insan akademis, kualitas insan pencipta, kualitas insan pengabdi, kualitas Insan yang bernafaskan Islam, dan Kualitas Insan yang bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah.
Kualitas insan cita yang diikhtiarkan HMI ini, menjadi alasan primer bagi kader HMI untuk turut serta melakukan peribadatan individual maupun sosial.
Kelima kualitas insan cita ini, berupaya dimiliki setiap kader HMI. Karena kualitas ini, merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh HMI itu sendiri. Kendati demikian, HMI tidak memberikan garansi bahwa orang yang masuk HMI akan memiliki kualitas-kualitas ini. Untuk itulah, didalam rumusan tujuan HMI itu sendiri digunakan kata terbina, bukan membina. (Dr Azhari Akmal Tarigan, Islam Madzhab HMI|Tafsir Dan Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan, hal 107)
Frasa ‘terbina’ tersebut, adalah bagian dari kemerdekaan yang hakiki. Mewujudkan masyarakat adil makmur, aktif terhadap problematika bangsa, yang semuanya didasari oleh kehendak yang merdeka, tanpa intervensi maupun paksaan.
Seperti kata Yuval Noah Harari, semua otoritas pada akhirnya berakar dari kehendak bebas individu manusia, seperti yang diekspresikan dalam perasaan, keinginan dan pilihan mereka (Yuval Noah Harari, 21 Lessons, 21 Adab Untuk Abad Ke 21, hal 49).
Otoritas atas kemerdekaan dalam bertindak tersebut, telah dijawab oleh Himpunan mahasiswa Islam, bahkan menjadi sandaran ideologis dalam bertindak, sesuai dalam nilal nilai dasar perjuangan (NDP) HMI pada bab III kemerdekaan manusia (Ikhtiar) dan keharusan universal (takdir).
Kemerdekaan yang hakiki ini bermakna memberi kebebasan dan kelapangan hati, pikiran, dan perbuatan manusia untuk menyampaikan pendapat
dan berkreasi dalam amal perbuatan secara terbuka tanpa ada rasa kahwatir, takut dan tertekan. (H. Idris Parakkasi, (Konsultan Ekonomi dan Keuangan Syariah Dosen FEBI UIN Alauddin Makassar).
Oleh sebabnya, BerHMI juga sebagai ikhtiar dalam mewujudkan kemerdekaan, untuk mendapat kepastian keikhlasan yang insani dalam bertindak.
Segala konsep perjuangan, dan jalur kiri yang dikumandangkan oleh mahasiswa, mestilah didasari oleh kehendak yang merdeka, tanpa ada istilah perintah ‘don-don’, atau fanatis terhadap senioritas. Seperti halnya, membela senioritas yang bertindak salah (karena perintah sesepuh), juga menghambat kemerdekaan itu sendiri.
Bahkan ketakutan-ketakutan atas resiko, atau perjuangan dengan paksaan, bukanlah ciri khas kemanusiaan yang merdeka. Dan Himpunan Mahasiswa Islam telah menjawab, dan berupaya membebaskan mahasiswa sebagai belenggu kemanusiaan.
Dan kepada mahasiswa Islam silahkan masuk ke HMI, namun jangan cari garansi apapun. HMI hanya menjadi fasilitator mahasiswa untuk menjadi pribadi yang merdeka, selebihnya kembali kepada kemauan dan ikhtiari kemanusiaan.
Jika sudah masuk dan telah cinta terhadap HMI, maka bersiaplah tersesat, dan disesatkan dalam konsep perjuangan yang merdeka. Merdeka bukan dalam artian sebebas-bebasnya, namun memiliki batasan tertentu sebagai keharusan universal/tangung jawab asasi sebagai bentuk kepastian hukum.
?