PROVINSI Aceh kini dikenal sebagai salah satu daerah yang menerapkan pemberlakuan syariat Islam. Sejarah mencatat penegakan hukum syariat Islam di Aceh, sempat maju mundur di beberapa zaman dan generasi. Seperti apa?
Ya, penerapan syariat Islam di Aceh sebenarnya telah berlaku di Aceh jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia ada, yaitu sejak memerintahnya Raja Iskandar Muda.
Kemudian dilanjutkan masa setelah kemerdekaan, masa Orde baru, reformasi dan sampai dengan masa sekarang ini.
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usahanya adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera.
Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hukum yang diatur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee Balang yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa.
Konon, dari berbagai sumber disebutkan, Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama datang ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam.
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan Syekh Abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan Sultanah Safiattuddin Syah ( 1641-1675 ), dan buku Safinat-Ulhukkamyi Takhlish Khashham karangan Syekh Jalaluddin At-Tarussani disusun masa pemerintahan Sultan Alaiddin johansyah (1732-1760).
Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab Syafi’i.
Disebutkan, hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana.
Memasuki periode penjajahan Belanda dan Jepang, penerapan hukum syariat Islam di Aceh sempat memudar secara hukum formal. Namun ketaatan masyarakat dalam melaksanakan hukum-hukum sesuai tuntunan Islam tetap tinggi.
Keadaan ini membuat masyarakat di Aceh rindu untuk mengembalikan syariat Islam sebagai hukum formal di Aceh.
Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1948. Dimana, saat presiden pertama Indonesia, Sukarno, berkunjung ke Aceh, untuk meminta bantuan rakyat Aceh guna bersama-sama berperang melawan Belanda, salah satu tuntutannya adalah penerapan syariat Islam menjadi hukum formal di Aceh sekaligus bentuk keistimewaan Aceh dibandingkan daerah lainnya.
Permintaan ini disampaikan oleh Daud Beureueh selaku pimpinan Aceh pada saat itu. Permintaan ini diiyakan oleh Sukarno tapi Daud Beureueh meminta komitmen tertulis. Sukarno sendiri sempat menitihkan air mata hingga akhirnya Daud Beureueh luluh dan tak jadi meminta bukti tertulis dari Sukarno. Sejarah mencatat komitmen ini kemudian tak kunjung terwujud dan menjadi cikal bakal konflik panjang Aceh dengan pemerintah pusat.
Keadaan ini berlangsung hingga 1998. Kemudian, sebagai salah satu komitmen penyelesaian konflik di Aceh, pemerintah pusat di Jakarta menerbitkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh. Kemudian dikuatkan lagi dengan hadirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dua undang-undang ini menjadi dasar pembentukan Dinas Syariat Islam (DSI) sebagai perangkat daerah di Aceh.
Dinas Syariat Islam dengan posisi perangkat daerah merupakan unsur Pelaksana Syariat Islam dilingkungan Pemerintah Daerah berada dibawah Gubernur mempunyai tugas melaksanakan tugas umum dan khusus pemerintah daerah dan pembangunan serta bertanggung jawab dibidang Pelaksanaan Syariat Islam.
Lahir pada tanggal 25 Januari 2002 bertepatan dengan pelantikan Pimpinan Dinas Syariat Islam terdiri dari Eseloon II, III, dan IV oleh Gubernur Aceh Ir. Abdullah Puteh, M. Si diruang Serba Guna kantor Gubernur Aceh.
Adapun Kepala Dinas Syariat Islam yang dilantik pada saat itu adalah Prof. Dr. H. Al Yasa’ Abubakar, MA.
Keberadaan Dinas Syariat Islam Aceh kembali dikuatkan seusai penandatangan MoU di Helsinki antara GAM dengan Pemerintah Pusat di Jakarta pada 15 Agustus 2005, yang kemudian melahirkan Undang-Undang Pemerintah Aceh tahun 2006. Salah satu keistimewaan yang diberikan ke Aceh termasuk penerapan syariat Islam sebagai hukum formal di Aceh. Kemudian juga ada sejumlah keistimewaan lainnya.
Kemudian, DPR Aceh mengesahkan Qanun Aceh nomor 7 tahun 2013 tentang hukum acara jinayat dan Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Pidana yang mengatur 10 pidana utama, antara lain khamar (miras), maisir (judi), khalwat (pasangan bukan muhrim), ikhtilath (bermesraan/bercumbu), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan gadzaf.
Kemudian DPR Aceh juga juga mengesahkan Qanun 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Keberadaan qanun ini untuk menguatkan pelaksanaan syariat Islam dibidang muamalah.
Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang lembaga Keuangan Syariah adalah Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan lembaga Keuangan dalam rangka mewujudkan ekonomi masyarakat Aceh yang adil dan sejahtera dalam naungan Syari’at Islam.
Qanun ini merupakan tindak lanjut Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang pokok-pokok syariat islam yang secara tegas telah mewajibkan bahwa lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh wajib dilaksanakan berdasrkan prinsip Syariah.
Qanun ini berlaku sejak 4 Januari 2019. Dimana Lembaga Keuangan yang beroperasi di Aceh wajib menyesuaikan dengan Qanun ini paling lama 3 tahun sejak qanun ini diundangkan. Maka per 4 Januari 2022, qanun LKS resmi berlaku di Aceh.
Saat ini, salah satu motor pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah Dinas Syariat Islam. Dinas Syariat Islam Aceh saat ini dikepalai Dr. EMK Alidar, S.Ag. M.Hum.
Tulisan ini merupakan hasil Kerjasama Dinas Syariat Islam Aceh dengan media atjehwatch.com.
Cukup Menarik