BANDA ACEH – Wakil Ketua DPP Partai Aceh, Dr Nurlis Effendi, menyebut KIP Aceh melanggar Qanun Aceh terkait penetapan tenggat waktu pengajuan pengganti bakal calon wakil gubernur setelah meninggalnya Tu Sop. “Bahkan marusak sistem hukum,” kata Nurlis di Banda Aceh, Jumat (12 September 2024).
Bernama lengkap Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab, adalah pasangan Bakal Calon Gubernur Bustami Hamzah atau Pasangan Calon (PAslon) Bustami-Tu Sop. Namun Tu Sop meninggal dunia pada Sabtu (7 September 2024), karena itu Bustami perlu mengajukan calon penggantinya.
KIP Aceh, Nurlis menjelaskan, telah menetapkan batas waktu pengajuan pengganti Tu-Sop adalah 7 hari sebelum penetapan Cagub-Cawagub tanggal 22 September 2024, yaitu pada tanggal 15 September 2024. Disebutkan, KIP Aceh berpedoman pada Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 126 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024.
“Sebetulnya, norma atau kaedah pada dua pasal tersebut tidak menyebutkan apakah 7 hari yang dimaksud itu 7 hari kerja atau 7 hari kalender. Namun KIP Aceh buru-buru menetapkan 7 hari kalender. Di situlah masalahnya, sebab KIP telah keliru menafsirkan peraturan,” kata Nurlis.
Nurlis melanjutkan, seharusnya KIP Aceh juga mengambil rujukan pada Pasal 38 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2024. “Di sini jelas disebutkan pengajuan pengganti calon yang sudah meninggal paling lambat 7 hari kerja sebelum penetapan dan peresmian sebagai Paslon oleh KIP,” kata Nurlis yang juga adalah seorang akademisi.
Artinya, kata Nurlis, hitungan hari kerja itu tidak termasuk hari libur. “Jadi, jika merujuk pada Qanun maka pengajuan calon pengganti itu paling lambat tanggal 12 September 2024 bukan tanggal 15 September 2024,” kata Nurlis.
Menurut Nurlis, akibat kekeliruan KIP Aceh dapat menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat Aceh akibat kekacauan dalam penerapan hukum. “Itulah sebabnya saya mengatakan KIP Aceh telah merusak sistem hukum,” katanya.
Nurlis menjelaskan, dalam sistem hukum posisi KIP Aceh berada dalam struktur hukum yang wajib melaksanakan apa yang telah diatur dalam peraturan hukum. “KIP Aceh terikat untuk melaksanakan undang-undang hingga Qanun Aceh yang berkaitan dengan tugas-tugasnya,” katanya.
Sedangkan posisi undang-undang hingga Qanun Aceh, kata Nurlis, berada pada posisi substansi hukum. “Jadi Keputusan KIP Aceh itu tidak mengindahkan substansi hukum,” kata Nurlis menambahkan.
“Karena tidak mengindahkan substansi hukum, maka dapat mengacaukan kultur hukum, dan mengganggu kepercayaan publik pada KIP Aceh,” kata Nurlis.
“Saya tidak tahu apa sebetulnya motivasi KIP Aceh dalam soal ini sampai berani mengambil sikap yang melanggar Qanun Aceh. Jika disengaja maka ada tindakan pelanggaran hukum di balik sikap yang demikian itu, jika tidak disengaja maka namanya kekonyolan yang fatal.” []