Keputusan Komisi ‘Independen’ Pemilihan (KIP) Aceh yang memberi status ‘TMS’ bagi pasangan Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi bukanlah hal yang mengejutkan bagi sebahagian orang.
Upaya penjegalan sudah dimulai sejak tahapan ‘penandatangan komitmen bersedia menjalankan MoU Helsinki’ oleh Badan Perumus DPR Aceh dimulai. Bustami-Fadhil lebih dari sepekan menunggu Banmus DPR Aceh menggelar paripurna untuk poin tadi, namun tak kunjung digelar karena sejumlah kondisi.
Perlu diketahui, ada 41 anggota Banmus DPR Aceh yang memutuskan paripurna DPR Aceh. Untuk menggelar paripurna, harus memenuhi quota forum. Sedangkan para anggota Banmus DPR Aceh, mayoritas adalah politisi PA, Gerindra, Demokrat serta partai pengusung Mualem-Dekfad, lainnya.
Banmus gagal terlaksana hingga penetapan peserta pilkada oleh KIP Aceh pada Minggu 22 September 2024.
Penjegalan di DPR Aceh kemudian jadi poin bagi KIP Aceh untuk men-TMS-kan pasangan Bustami-Fadhil.
Pasca beredarnya berita acara KIP Aceh, secara otomatis, upaya yang bisa ditempuh oleh koalisi pendukung Bustami-Fadhil, adalah gugatan hukum.
Sementara KIP Aceh melanjutkan tahapan Skenario Lawan Tong Kosong seperti asumsi public selama ini.
Apa yang dipertontonkan oleh Banmus DPR Aceh dan KIP Aceh adalah upaya ‘pembegalan demokrasi’ secara terang-terangan dan tak ada rasa malu.
KIP Aceh perlu segera dievaluasi. Keberpihakan mereka yang berstatus ‘wasit’ menjadi aib besar untuk Aceh.