Oleh Syahril Maulid MPd. Penulis adalah guru asal Aceh yang kini bekerja dan menetap di Surabaya.
Menyandingkan sosok Prabowo Subianto dengan Wali Nanggroe Hasan Tiro sebenar dua hal yang sangat jauh berbeda. Namun entah kenapa, poin ini terkesan wajib disorot, agar terbuka ruang diskusi serta telaah ulang untuk perjuangan ke-Aceh-an kedepan.
Tak dipungkiri, sosok Mualim Muzakir Manaf selama ini memang menjadi simbol ‘perlawanan’ Aceh terhadap Jakarta.
Mualim merupakan simbol ‘GAM’ yang bertransformasi menjadi ‘Gerakan Bersenjata’ menjadi ‘Gerakan Politik’ semasa Aceh damai, terutama dari 15 Agustus 2005-sekarang.
Jika kita runutkan lagi, apa yang dilakukan oleh Mualem saat ini, harusnya adalah melanjutkan transformasi politik dari pemikiran-pemikiran Hasan Tiro untuk diimplementasi Aceh. Terutama dalam mengisi pembangunan dan perdamaian di Aceh.
Namun yang terjadi, terutama yang penulis lihat dari catatan media, ada perbedaan yang jauh antara Aceh pasca damai dengan Aceh masa konflik. Kini terkesan, Hasan Tiro dan pemikirannya, sudah menjadi masa lalu bagi Aceh.
Poin-poin penting yang pernah disampaikan oleh almarhum Wali Hasan Tiro tentang ‘Neuduek-duek Perjuangan Aceh’ sama sekali tak ter-implementasi dalam ‘konteks Aceh damai.’
Poin ini, menurut penulis, harusnya penting untuk dicatat agar menjadi ‘ruh’ perjuangan Aceh dalam fase damai.
Namun anehnya, bukan hanya soal pemikiran, tapi kebanggaan Aceh yang pernah memiliki sosok seperti Hasan Tiro juga seakan hilang dalam fase damai seperti sekarang.
Ini mungkin bisa dilihat dari rekam jejak digital, dimana Mualem selaku leader ‘Gerakan Politik ke-Aceh-an’ lebih sering menyebutkan ‘Prabawo’ ketimbang Hasan Tiro sebagai ayah ideologi Aceh.
Dalam sejumlah kesempatan, Mualem juga kerap menyebutkan bahwa alasan calon kepala daerah yang diusung pihaknya harus menang agar memudahkan koneksi dengan pemerintahan pusat yang baru saja dimenangkan oleh Prabowo.
“Prabowo masih peduli ke-Aceh.”
Dalam hal politik, tentu penyampaian soal Prabowo menjadi penting bagi Mualim, dan mungkin taktik Mualem, agar memperoleh dukungan untuk menang. Tapi, perlu dicatat, ini tidak dengan kebatinan bagi para pengikut ideologi ‘ka-Aceh-an’ di lapangan.
Tak salah memang memamerkan sokongan kuat sekelas ‘Prabowo’ di Aceh, tapi Mualem juga perlu melihat suasana ‘kebatinan’ para pengikut di lapangan.
Dalam konteks politik, merebut pengaruh dari semua lapisan masyarakat penting. Tapi menjaga dan merawat akar politik atau sumber kekuatan utama juga sangat penting.
Tak ada yang meragukan Mualem dekat dengan Prabowo yang akan segera dilantik sebagai orang nomor satu di Indonesia. Namun harusnya, ini bukanlah sesuatu yang harus ‘diobral’ secara murah meriah di Aceh. Terbukti, Prabowo kalah telak dalam Pilpres 2024 lalu di Aceh.
Dengan kata lain, Mualem perlu memahami suasana kebatinan masyarakat Aceh dan kebatinan dari penganuh ideologi ‘ke-Aceh-an’ di Aceh itu sendiri.
Mualem harus lebih banyak mendengar dan merawat ‘persepsi’ public Aceh terkait pemerintah pusat. Bukan sebaliknya, memaksa sesuatu yang dinilai baik untuk Aceh, dan kemudian meminta ‘gerbong besar’ ideologi ‘ke-Aceh-an’ untuk bergerak ke arah yang diinginkan.
Kalau ini terus dipaksakan, penulis yakin kalau statemen segelintir orang yang mengatakan,’ureung blah nyan kon lawan geutanyoe. Tapi lawan geutanyoe, adalah ureung blah geutanyoe yang ka abeh dijak blah nan” benar-benar akan terjadi.
Tulisan ini hanya catatan ringan dari penulis terkait kondisi Aceh terkini.