Oleh M. Rahmatillah. Penulis adalah alumni dayah salah satu dayah di Aceh Utara.
Pelaksanaan pilkada Cagub di Aceh Utara tak baik-baik saja. Hanya demi memenangkan salah satu calon gubernur, ada pihak-pihak tertentu yang coba bermain dengan meng-halalkan segala cara. Bahkan ketika harus melawan warga sendiri.
Ada intimidasi dan ketidaknetralan KPPS hingga PPK dengan cara membuat partisipasi pemilih 100 persen. Banyak warga yang tak datang ke TPS karena takut tapi saat mengecek partisipasi pemilih justru partisipasi pemilih 100 persen.
Ada pengeroyokan warga yang tak sepaham dengan mereka. Ada teror ke keluarga yang berbeda pilihan dan media. Namun Polisi tutup mata seolah-olah tak terjadi apa-apa. Semua dianggap wajar dan katanya demi perjuangan Aceh yang tinggal sibak rukok teuk.
Kondisi ini bukan lagi rahasia umum bagi warga di Aceh Utara saat ini. Pilkada seolah menjadi ‘ajang perang’ baru di sini. Mayoritas warga hanya mampu berbisik tapi tak berani bersuara demi selamat dari intimidasi.
Lagi-lagi, konon katanya, cara curang ini untuk ‘menyelamatkan’ pejuangan Aceh. Namun satu pertanyaan penulis, demi perjuangan Aceh yang mana? Merdeka-kah? kekhususan Aceh-kah? Atau menjaga Mualem sebagai marwah perjuangan Aceh? Tapi kenapa harus meneror.
Kalau apa yang dilakukan oleh mereka yang mengaku para pejuang selama ini benar adanya, maka pasti mayoritas masyarakat mendukung setiap proses yang terjadi. Tak perlu teror dan intimidasi.
Tak perlu membenarkan yang salah demi memenangkan kandidat tertentu.
Tulisan ini sebenarnya lahir akibat kerisauan public yang mendalam. Dimana, ada banyak kesesatan berpikir yang terjadi di Aceh Utara saat ini dan diamnya para pihak seolah-olah membenarkan apa yang terjadi.
Kondisi ‘tutup matanya’ para pihak di Aceh terkait kecurangan yang terjadi juga menyimpulkan banyak hal. Salah satunya bahwa banyak para teungku-teungku dan pimpinan dayah di Aceh ternyata tak memiliki iman yang tebal. Mereka hanya mampu berkoar di mimbar dan ruang lingkup dayah.
Mereka diam saat kemungkaran terjadi.
Diamnya para teungku di Aceh Utara terhadap begal demokrasi adalah bentuk lain dari dukungan terhadap kejahatan yang sedang berlangsung. Ini akan menjadi dosa jariyah bersama selama 5 tahun kedepan.
Para teungku dan para pihak yang diam atas begal demokrasi akan bertanggungjawab atas hancurnya Aceh selama 5 tahun kedepan.
Tak perlu pembelaan, kita hanya perlu melihat apa yang akan terjadi 5 tahun kedepan atas keputusan memilih diam hari ini. Silakan simpan tulisan ini dan kemudian lihat Kembali jelang pemilu kedepan. Bahwa diamnya kita, terutama teungku dayah, adalah bagian dari mendukung kehancuran Aceh dan Aceh Utara, khususnya.
Bagi penulis, diamnya para teungku atas kecurangan yang massif di Aceh, sama seperti berwudhu dengan air kencing babi.