YOGYAKARTA – Setelah empat daerah sengketa resmi menjadi bagian dari Aceh, kini aspirasi masyarakat Aceh kembali mengemuka, khususnya dalam menagih realisasi komitmen pemerintah pusat terhadap perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Salah satu tuntutan yang mengemuka adalah pengakuan terhadap bendera daerah sebagai simbol keistimewaan Aceh.
Sebagai provinsi dengan status otonomi khusus, Aceh memiliki kewenangan luas untuk mengatur pemerintahan daerahnya, termasuk dalam aspek simbolik dan identitas budaya. Namun demikian, implementasi Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh hingga kini masih menemui jalan buntu. Meski telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) lebih dari satu dekade lalu, pemerintah pusat belum memberikan persetujuan resmi atas pelaksanaannya sebagai simbol legal daerah.

Menurut Prof. Dr. Titin Purwaningsih, S.IP., M.Si., pakar politik lokal dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Qanun Bendera Aceh seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih, elemen-elemen dalam bendera tersebut tidak mengandung unsur separatisme.
“Permasalahan ini terus berlarut karena masih adanya trauma sejarah yang belum sepenuhnya diselesaikan. Padahal perjanjian Helsinki telah menjadi jalan damai dan rekonsiliasi atas konflik panjang masa lalu. Maka dari itu, bendera sebagai simbol keistimewaan Aceh seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan,” tegas Titin saat diwawancarai pada Rabu (18/06) di Gedung Pascasarjana UMY, Lantai 2.
Titin menambahkan bahwa dinamika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah juga menjadi faktor yang menyebabkan mandeknya implementasi Qanun Bendera Aceh. Tarik menarik antara aspirasi daerah dan kekhawatiran pemerintah pusat menciptakan kebuntuan yang berkepanjangan.
“Pemerintah pusat seringkali memberikan ruang kepada daerah untuk menjalankan otonomi khusus, namun pada saat yang sama muncul kekhawatiran terhadap simbol-simbol identitas lokal yang dianggap berpotensi memicu separatisme,” ujarnya.
Melihat persoalan yang terus bergulir tanpa penyelesaian, Titin menilai pentingnya membuka ruang dialog terbuka dan berkelanjutan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh. Dialog ini diharapkan mampu menjembatani perbedaan persepsi sekaligus menghasilkan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
“Dalam dialog tersebut, pemerintah daerah dapat menyampaikan aspirasi mereka secara langsung, dan pemerintah pusat juga bisa merespons secara terbuka. Jika ada simbol dalam bendera yang dianggap menyerupai simbol lama atau mengandung sensitivitas historis, maka bisa dikaji dan dievaluasi bersama. Dengan begitu, esensi dari pengakuan keistimewaan Aceh tetap terjaga tanpa harus menimbulkan ketegangan,” tutup Titin.