PRIA muda itu melongo. Ia terkejut kala melihat palang pintu di jalan utama menuju tugu Darussalam tiba-tiba tergembok. Saat itu pukul 12.00 WIB.
Ia adalah Wakil Ketua Panitia Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) UIN Ar-Raniry, Hendra Rahmad. Hendra saat itu ditemani sekretaris panitia.
“Padahal kemarin kami baru saja mengirim surat ke Rektor Unsyiah yang isinya memberitahu bahwa kami akan menggunakan lapangan tugu pada pukul 16.00 WIB hingga selesai, sebagai lokasi penutupan acara pengenalan akademik mahasiswa baru. Tapi hari ini kok tiba-tiba sudah digembok,” ujar Hendra.
Keduanya balik badan dan pulang ke UIN Ar-Raniry.
Pukul 14.30 WIB, Hendra dan tiga rekannya dari kepanitian mahasiswa baru UIN Ar-Raniry, kembali lagi ke lokasi. Mereka bergegas menuju gedung biro rector Unsyiah untuk menanyakan perihal pengembokan pintu masuk ke lapangan tugu Darussalam. Oleh satuan keamanan Unsyiah, Hendra dan rekan-rekan kemudian diarahkan ke Biro Rumah Tangga yang menangani asset Unsyiah. Ini karena Unsyiah mengklaim bahwa lapangan tugu milik mereka sesuai dengan bukti hukum yang dimiliki.
“Kami di sana bertemu kepala bironya. Kalau gak salah membidangi aset rumah tangga Unsyiah,” jelas Hendra.
Oleh petinggi Unsyiah, kata Hendra, dipermasalahkan bentuk surat yang dikirim oleh kepanitiaan mahasiswa baru UIN Ar-Raniry ke Rektor Unsyiah.
“Kata bapak itu, surat kami salah. Harusnya bukan surat pemberitahuan, tapi surat minta izin penggunaan tempat. Kok harus minta izin menggunakan lapangan tugu? Lapangan tugu Darussalam harusnya bisa digunakan oleh mahasiswa dari tiga kampus, yaitu Unsyiah, UIN dan Chiek Pante Kulu,” kata Hendra lagi.
Perbedaan pandangan antara Hendra kawan kawan dengan petinggi Unsyiah tadi menimbulkan debat sengit. Debat itu berlangsung hampir 30 menit, namun kedua belah pihak ngotot dengan argumentasi masing-masing. Hendra dan kawan-kawan nyerah dan keluar dari biro Unsyiah.
Kekecewaan Hendra dan rekan-rekan menyebar cepat ke UIN Ar-Raniry. Ratusan mahasiswa UIN berbondong-bondong ke lapangan tugu.
+++
Polemik soal kepemilikan tanah di Kopelma Darussalam sebenarnya bukanlah hal yang baru. Beberapa bulan sebelumnya, hubungan antara Unsyiah dengan UIN Ar-Raniry juga sempat memanas karena adanya surat dari Unsyiah yang meminta pihak UIN Ar-Raniry mengosongkan asrama putri milik UIN Ar-Raniry. Pasalnya, Unsyiah mengklaim bahwa tanah di asrama putri UIN tadi adalah milik mereka dengan bukti hukum yang sah. Unsyiah menyebutkan bahwa lokasi tadi merupakan bagian dari rencana pengembangan kampus itu.
Surat tadi sudah sudah dikirim sebanyak dua kali. Namun tak pernah digubris oleh UIN Ar-Raniry. UIN Ar-Raniry sendiri mengaku juga memiliki bukti hukum serupa bahwa mereka juga berhak atas tanah tadi.
Aktivis dan alumni UIN Ar-Raniry sendiri pernah mengadakan acara di asrama putri UIN Ar-Raniry sebagai bentuk perlawanan atas kebijakan Unsyiah. Saat itu hadir sejumlah mantan aktivis referendum Aceh yang kini menjabat di sejumlah daerah.
Mereka menyebut lokasi tadi sebagai ‘Jalur Gaza’ nya Darussalam.
“Kalau dibiarkan, sedikit demi sedikit, UIN Ar-Raniry dan Chik Pante Kulu akan tersingkirkan. Sama halnya seperti Jalur Gaza di Palestina,” ujar salah seorang alumni yang hadir pada acara itu, beberapa bulan lalu.
Tak hanya asrama putri UIN Ar-Raniry, Unsyiah juga pernah mengirim surat untuk pengosongan mushalla di Jalan Inong Balee dengan surat nomor B/3179/UN11/PR.00.00/2019. Intinya, kawasan tersebut termasuk dalam pengembangan Unsyiah yang ditandatangani oleh Wakil Rektor II Dr. Ir. Agussabti M.Si.
Surat tersebut menjadi viral karena Unsyiah meminta pengurus mushalla setempat untuk mengosongkan dan membongkar dengan dealine hingga 30 Juni 2019.
Dari asrama putri, mushalla, kini merambah ke lapangan tugu. Jika merujuk ke sikap Unsyiah terakhir, penggunaan lapangan tugu sendiri, kini harus ada izin pemakaian dari rektorat Unsyiah. Sikap inilah yang ditentang aktivis mahasiswa UIN Ar-Raniry.
Mahasiswa dan pengurus dari Chik Pante Kulu masih terbilang adem ayem terkait sengketa ini.
Persoalan lain yang kini diperdebatkan termasuk masjid Kopelma Darussalam, pas di depan Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry.
“Sekitar tahun 90-an, setiap mahasiswa baru IAIN Ar-Raniry turut menyumbang untuk pembangunan masjid tadi. Namun kesan yang muncul saat ini, masjid itu bagian dari Unsyiah,” kata Rahmat, alumni Unsyiah yang warga Rukoh.
“Semangat Darussalam kini memudar. Harusnya Darussalam menjadi milik Aceh. Milik tiga kampus, tapi kebijakan Unsyiah saat ini menimbulkan persepsi lain,” katanya.
+++
Mahasiswa UIN Ar-Raniry sempat memanas Rabu sore. Namun keadaan bisa ditenangkan oleh Kapolsek Syiah Kuala AKP Edi Saputra SE yang hadir ke lokasi. Ia tampak piawai dalam menenangkan massa.
“Hanya mis komunikasi saja. Keadaan aman aman saja kok,” ujarnya yang dihubungi atjehwatch.com.
Mahasiswa UIN Ar-Raniry sendiri tetap menggunakan lapangan tugu sebagai lokasi penutupan acara.
“Terlepas klaim tadi, kami hanya ingin menggunakan lapangan ini sebentar saja. Jangan zalimi kami. Kami mengharapkan semangat Darussalam dikembalikan. Darussalam milik tiga kampus. Masalah adu bukti kepemilikan itu urusan rektorat,”kata Hendra.[]