HANDPHONE berdering pada Sabtu sore 31 Agustus 2019. Ada nomor baru yang muncul di layar.
“Dimana?” ujar seseorang dibalik telepon usai tersambung. Suaranya khas. Meskipun jarang bersua, tapi sosok itu sulit untuk dilupakan. Ia cepat akrab dengan semua kalangan. Termasuk dengan kalangan wartawan.
“Abangmu ini ada di Banda Aceh. Yok kita ngopi,” ujar sosok itu lagi.
Ia adalah Suhardinsyah SPd, geuchik berprestasi asal Gayo Lues. Namun di kalangan aktivis mahasiswa Unsyiah angkatan 2004 ke bawah, terutama FKIP dan UKM Pramuka, sosok itu dikenal dengan julukan Tor-Tor.
Alumni FKIP Olahraga ini terbilang aktif saat masih berstatus mahasiswa. Ia terlibat dalam berbagai organisasi, dari jurusan hingga universitas.
Bang Tor-Tor, demikian sosok itu biasa disapa, juga kerap melancarkan aksi protes jika ada kebijakan yang dinilai merugikan mahasiswa kala itu. Karena hal inilah, akhirnya membuat sosok tadi sering berhadapan dengan pihak kampus.
“Kalau kita tak berani bersuara, maka sampai kapan pun akan dibungkam. Maka tubuh akan mendokrin kita untuk mudah menyerah dan mengalah,” katanya kala itu.
Kini, setelah belasan tahun berlalu, Suhardinsyah atau Tor-Tor, bukan lagi aktivis mahasiswa tapi geuchik berprestasi untuk Aceh.
Ia menjabat sebagai kepala desa Ulon Tanoh, Kecamatan Kutapanjang, Kabupatan Gayo Lues, sejak 2015 lalu. Hanya butuh 3 tahun bagi Suhardinsyah untuk membenahi Desa Ulon Tanoh.
“Dulu desa kami dikenal dengan berbagai citra negatif. Allahamdulillah kini mampu kita kikis sedikit demi sedikit menjadi desa berprestasi,” ujarnya di Warkop Dekmi Darussalam, Kota Banda Aceh, Sabtu sore.
Tangan dingin Tor-Tor mampu menyulap Desa Ulon Tanoh hanya dalam tiga tahun. Tahun 2018, Desa Ulon Tanoh meraih peringkat ke 3 provinsi sebagai pengelolaan dana desa terbaik. Pada tahun yang sama, Ulon Tanoh juga meraih juara 2 untuk kategori Desa Mandiri tingkat Kodam.
Sebelumnya untuk tingkat Gayo Lues, Ulon Tanoh juga meraih peringkat 1 untuk lomba desa dan juara 1 untuk lomba PKK.
“Untuk mengubah itu, butuh kesabaran dan keikhlasan,” kata geuchik berprestasi ini.
Di awal-awal menjabat sebagai kepala desa, kata Tor-Tor, ia punya cerita menarik tersendiri. “Saat itu, taik ayam dan bebek itu berserakah di mana-mana. Desa bau. Saya cari cara untuk mengatasi persoalan ini tanpa harus menyinggung perasaan warga. Akhirnya saya ajak beberapa remaja untuk mengutip taik ayam dan bebek ini. Saya bayar mereka dan kami kumpulkan serta kemudian kami bahwa ke sawah untuk jadikan pupuk. Itu berlangsung hampir seminggu lebih. Lama-lama warga heran, dan bertanya, untuk apa pak geuchik taik ayam itu? Saya bilang itu untuk pupuk. Coba lihat padi saya baguskan? Kebetulan padi saya memang bagus saat itu. Seminggu kemudian yang punya sawah ikutan kutip taik ayam tadi untuk pupuk. Kini kondisi jalanan di Ulon Tanoh sudah jauh lebih baik,” ujarnya sambil tertawa.
Tak hanya persoalan taik, Tor-Tor juga bercerita soal keberadaan judi laga ayam di desa nya.
“Untuk memberantas judi laga ayam, saya hanya datang ke sana. Satu kali, dua kali, secara berulang-ulang. Itu saya datang hanya lihat saja. Saya tak menegur mereka. Tapi mungkin karena risih, akhirnya berkurang satu persatu,” kata dia lagi.
[Bersambung]