ATJEHWATCH.COM – Ia adalah manusia peralihan. Saya kira itu sudah menjadi takdirnya. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah wakil generasi Indonesia pasca-revolusi kemerdekaan. Ia tidak ikut serta dalam revolusi karena usianya masih sangat muda saat itu. Namun, tidak seperti kawan segenerasinya, ia relatif terbebas dari politik. Bisa dibilang, dalam perjalanan hidupnya, Habibie tidak mencari politik. Politiklah yang mencarinya.
Sepanjang masa pergolakan di republik (1955-1965), Habibie kuliah di Jerman. Soeharto memanggilnya pulang pada 1973, sekalipun saat itu ia sudah bekerja di perusahan di Jerman. Soeharto pulalah yang menjadikannya Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) sejak 1978 hingga Maret 1998.
Perjalanan karier profesional dan politik Habibie sejak kepulangannya ke Indonesia tidak bisa lepas dari Soeharto. Dilihat dari luar, ini hubungan yang aneh. Habibie seorang teknokrat. Sekalipun lahir dan besar di Indonesia, formasi intelektualnya terjadi di Jerman. Bahkan dalam berbahasa Indonesia pun ia berlogat Jerman yang kental.
Sementara Soeharto adalah orang Jawa. Keduanya mewakili kebudayaan sangat berbeda. Bagaimana keduanya bertemu? Saya kira, kepentingan politiklah yang menyatukan mereka. Mungkin lebih di pihak Soeharto ketimbang Habibie.
Untuk Soeharto, Habibie adalah orang yang mudah dikendalikan. Ia tidak memiliki basis massa. Ia seorang teknokrat. Citra dirinya adalah seorang jenius yang lebih asyik dengan teknologi pesawat terbang serta mengimajinasikan Indonesia suatu saat akan menjadi negara yang berbasis teknologi tingkat mutakhir.
Satu-satunya yang saya ingat dari Habibie adalah gayanya ketika mengucapkan kata “canggih”. Kata itu diucapkan dengan aksen yang tidak ada satu pun orang Indonesia yang bisa menyamainya. Kecuali untuk bahan parodi.
Untuk Soeharto, Habibie adalah orang yang tidak mungkin menggoyang kekuasaannya. Itulah sebabnya ia mendudukkannya sebagai ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Banyak pengamat menyatakan organisasi ini dibentuk di tengah merosotnya pengaruh Soeharto di dalam ABRI dan Golkar, dua institusi penyangga kekuasaannya.
Lahirnya ICMI adalah pertanda sedang terjadi realignment atau penyusunan ulang politik Indonesia.
Kedudukan sebagai ketua ICMI memang memperkuat kekuasaan politik Habibie. Namun, kekuasaan itu tidak akan bisa berjalan tanpa tangan Soeharto. Habibie pun menjalankan penugasannya dengan takzim. Tidak sedikitpun ia memakai ICMI untuk melawan kekuasaan Soeharto.
Sebaliknya, ia merangkul elemen-elemen Islam yang semula di luar kekuasaan dan menjadikannya bagian normal dari koalisi yang mendukung Soeharto. Aliansi ini tentu saja aliansi strategis. Artinya, masing-masing pihak tahu bahwa untuk sementara inilah jalan terbaik mengamankan kepentingan sendiri maupun kelompoknya.
Kehadiran ICMI mulai mengubah peta kekuasaan. Pengaruhnya sangat terasa bahkan hingga di dalam Golkar. Sementara di dalam tubuh ABRI, faksionalisme semakin tajam dan ICMI dalam derajat tertentu memainkan peran di sana.
Sekalipun berada pada posisi strategis, banyak orang tidak yakin Habibie memiliki kekuatan nyata untuk merebut kekuasaan. Soeharto pun berpikir demikian. Sehingga ketika harus memilih wakil presiden pada 1998, Soeharto memilih Habibie. Ini adalah pilihan yang paling tidak berisiko.
Pada saat bersamaan, negara sudah memperlihatkan tanda-tanda krisis yang parah. Ekonomi ambruk. Oposisi semakin menguat. Pertentangan di dalam tubuh rezim pun semakin meningkat. Faksi-faksi di dalam tubuh militer saling sikut untuk mendapat kekuasaan lebih besar. Anak-anak Soeharto juga menjadi salah satu kekuatan politik setelah selama hampir satu dekade sibuk mengakumulasi kekayaan dengan memanfaatkan kekuasaan bapaknya.
Pemilihan Habibie sebagai wakil presiden tentu sarat perhitungan strategis. Soeharto percaya Habibie terlalu lemah untuk merebut kekuasaan. Sementara faksi-faksi di dalam rezim pun melihat krisis ini sebagai kesempatan untuk terus saling gempur berebut pengaruh.
Ternyata Soeharto salah. Krisis ekonomi memburuk. Faksionalisme menajam. Oposisi semakin kuat khususnya karena kalangan menengah kota, segmen sosial yang hidupnya banyak ditopang oleh Orde Baru, juga mulai yakin bahwa Soeharto harus lengser.
Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri. Publik Indonesia terperangah. Habibie menjadi presiden ketiga Republik Indonesia. Suksesi yang tidak pernah terpikirkan selama 32 tahun tiba-tiba terjadi. Orang yang menggantikan Soeharto adalah figur yang paling tidak diperhitungkan untuk menjadi presiden.
Naluri, Bukan Kalkulasi Politik
Memandang ke belakang, saya melihat kejadian ini adalah rahmat bagi bangsa Indonesia. Secara perlahan Habibie menunjukkan kualitas dirinya. Ia bukan politisi. Justru karena itulah ia memerintah lebih berdasarkan naluri (gut feeling) ketimbang kalkulasi politik.
Dan, perlu diingat, formasi intelektualnya sangat dipengaruhi oleh kehidupannya di Jerman. Ia dengan segera menerapkan ide-ide demokratis. Persis seperti yang dituntut oleh pihak oposisi kepada Soeharto. Ia mulai membebaskan tahanan-tahanan politik. Ia memberikan kebebasan pers. Ia membiarkan kritik bersuara sekalipun itu melemahkan dirinya sebagai presiden.
Ia juga bertindak tegas kepada orang-orang kuat yang menyusun faksi-faksi dalam tubuh militer. Misalnya, seperti yang kita ketahui dari memoar yang ditulis Mayjen Sintong Panjaitan, Habibie menolak tunduk kepada Letjen Prabowo Subianto, yang saat itu masih menjadi menantu Soeharto.
Di bawah pemerintahan Habibie pula, pada Agustus 1998, para elite militer Indonesia memikirkan ulang Dwifungsi ABRI. Rapat pimpinan ABRI ketika itu menghasilkan keputusan untuk menghapuskan Dwifungsi ABRI. Langkah ini sangat fenomenal karena selama 32 tahun Soeharto berkuasa dengan menggunakan Dwifungsi ABRI.
Bersamaan dengan itu pula Kepolisian RI dipisahkan dari ABRI. Pemisahan ini dilakukan lewat Ketetapan MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Kemudian diperkuat dengan Ketetapan MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Sejak itu Polri berdiri sendiri dan nama resmi militer Indonesia kembali menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pemerintahan Habibie juga mulai memberikan otonomi kepada daerah-daerah. Sentralisasi yang menjadi ciri khas Orde Baru dihapuskannya. UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah digantinya dengan UU No. 22/ 1999 dan UU No. 25/199 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua undang-undang ini mewakili semangat yang sangat demokratis dan akibatnya kita rasakan hingga saat ini.
Namun, langkah yang paling kontroversial yang dilakukan oleh Habibie adalah ketika ia memberikan referendum (penentuan pendapat rakyat) kepada Timor Timur, provinsi termuda Indonesia yang diintegrasikan secara paksa lewat invasi militer pada 1975.
Ada banyak teori mengapa Habibie setuju memberikan referendum kepada rakyat Timor Leste. Ada yang mengatakan ia menerima laporan intelijen yang salah. Ada yang mengatakan ia dijanjikan hadiah Nobel Perdamaian.
Saya sendiri lebih meyakini Habibie mengandalkan instingnya bahwa lebih baik meminta pendapat rakyat untuk menyelesaikan persoalan Timor Timur untuk selama-lamanya. Referendum itu berakhir dengan suara bulat (78,50%) rakyat Timor Timur memilih untuk berpisah dari Indonesia. Hanya 21,50% menghendaki otonomi khusus di bawah Indonesia.
Kekalahan itu juga menjadi tonggak kejatuhan Habibie. Pada Oktober 1999, MPR mengadakan sidang dan meminta pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden RI. Pada 20 Oktober, MPR menolak pidato pertanggungjawaban tersebut dan Habibie memutuskan untuk tidak mencalonkan diri kembali sebagai presiden.
Habibie hanya menjabat sebagai Presiden selama 18 bulan. Namun, dalam masa sesingkat itu, ada banyak hal yang dilakukan oleh Habibie.
Dialah peletak dasar-dasar demokrasi Indonesia. Di bawahnya, tumbuh kebebasan pers, pembebasan tahanan politik, reformasi di tubuh militer dan kepolisian, dan pemberian otonomi kepada daerah.
Bahkan pemberian referendum kepada rakyat Timor Leste yang dipandang sebagai kesalahan oleh banyak orang sesungguhnya adalah langkah yang sangat demokratis. Referendum itu tidak saja pengakuan proses demokratik kepada rakyat Timor Leste, akan tetapi pembelajaran demokrasi kepada bangsa Indonesia.
Kepergian salah satu putra terbaik Indonesia mengharuskan saya membikin sebuah retrospeksi. Bagaimana seandainya saat itu Soeharto mengangkat Wiranto sebagai wakil presiden dan kemudian menggantikannya sebagai presiden? Atau, menantunya, Prabowo Subianto? Atau bagaimana seandainya Amien Rais menjadi presiden dengan kekuatan demonstrasi jalanan? Amien Rais ketika itu adalah politisi yang sangat populer. Ia bahkan mengatakan Habibie hanya akan menjadi ‘the sitting duck president’ (presiden lumpuh tak berdaya). Sejarah Indonesia mungkin akan sangat lain.
Saya merasa kita beruntung memiliki presiden sipil yang bukan seorang politisi. Sehingga, ketika harus mengambil keputusan, ia lebih banyak bersandar pada naluri dan nuraninya. Ia tidak banyak melakukan kalkulasi politik. Justru di sanalah keunikan dan kekuatan Habibie. Ia berhasil membimbing bangsanya melakukan peralihan dari otoritarianisme ke demokrasi.[]