DUA pria muda itu duduk di teras depan ruangan. Mereka memakai kopiah, kemeja lengan panjang serta kain sarung. Wajah mereka terlihat teduh. Senyum dan sapa dalam bahasa Aceh dilontarkan begitu melihat santri lain melintas di dekat mereka.
Sementara di sudut lain, ada beberapa remaja yang terlihat sedang mengambil wudhu. Saat itu, jelang salat Ashar. Para santri terlihat antri wudhu dan bergegas menuju masjid dalam komplek itu.
“Jak ta sembahyang sama-sama,” ujar salah satu dari pria muda tadi.
“Jeut. Jak Teungku (salat-red),” kata satu pria lainnya ke atjehwatch.com. Teungku adalah panggilan kemuliaan dan kehormatan untuk para lelaki dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.
Di masjid, seorang pria yang dituakan dalam segi ilmu ditunjuk jadi imam. Ia juga dewan guru di sana. Suaranya merdu. Kami berjamaah hingga selesai.
Pemandangan tadi terekam di Dayah Mathlabul Ilmi Al-Aziziyah, akhir pekan lalu. Kata Aziziyah terakhir dilekatkan karena pimpinan dayah ini merupakan alumni dari Mudi Mesra Samalanga.
Dayah Mathlabul Ilmi Al-Aziziyah didirikan pada 2005 secara gotong royong dari masyarakat Gampong Mideun Geudong, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen. Dayah ini dipimpin oleh Teungku H. Ismail Yusuf S.Hi, salah satu murid terdekat dari Abu Mudi, ulama yang menjadi rujukan umat di Aceh.
“Dulu jauh sebelum dayah ini ada, di kampong kami banyak pemuda yang terjerumus narkoba. Kini alhamdulillah, sudah terkikis. Abu (pimpinan dayah-red) yang memberi bimbingan melalui ceramah-ceramahnya,” kata Maimun Lukman, warga setempat.
“Masyarakat bergotong royong saat awal-awal pendirian. Pemuda kampong kini rutin mengikuti pengajian. Perubahannya luar biasa,” ujarnya lagi.
Pimpinan Dayah Mathlabul Ilmi Al-Aziziyah, Teungku H. Ismail Yusuf S.Hi, mengatakan dayah yang dipimpinnya kini memiliki santri sebanyak 160 santri dan 7 dewan guru.
“Alhamdulillah kini mendapat tempat di hati masyarakat. Kita memang diajurkan nasehat menasehati,” ujar Teungku Ismail.
Dirinya berharap keberadaan dayah ini menjadi pusat pendidikan bagi masyarakat di sekitar serta melahirkan ulama-ulama besar untuk Aceh di masa depan.
“Sesuai dengan visi dayah, melahirkan dan mencetak kader yang dilandasi oleh panca jiwa yang ruhul ma’had, yaitu keikhlasan, kesederhanaan, berdirikari, ukhuwah Islamiyah dan kebebasan,” katanya lagi.
Di dayah, kata Teungku Ismail, santri dapat bertukar pikiran bersama di balai-balai di bawah bimbingan guru. Kemudian mushala juga dapat menjadi sarana santri dalam menjalankan aktivitas selain ibadah.
“Lingkungan dayah juga menjadi tempat berbakti santri kepada guru di sela-sela pengajian. Seperti berkebun, sawah dan ladang,” ujar sosok yang sering menemani Abu Mudi dalam berbagai aktivitas dakwah selama ini.
Yang paling penting, katanya, santri dayah ini mampu berakhlak muslim serta menjadi panutan saat kembali ke daerah masing-masing.
“Berakhlak mulia serta memiliki karakter yang kuat. Ini harapan saya kedepan,” ujarnya lagi.[]